Energi

Indonesia Dorong Hilirisasi Sawit untuk Swasembada Energi

Indonesia Dorong Hilirisasi Sawit untuk Swasembada Energi
Indonesia Dorong Hilirisasi Sawit untuk Swasembada Energi

JAKARTA – Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menegaskan bahwa Indonesia harus segera menyiapkan minyak nabati, khususnya berbahan baku kelapa sawit, sebagai alternatif pengganti energi fosil. Langkah ini sejalan dengan visi swasembada energi yang menjadi bagian dari program Astacita Presiden Prabowo Subianto.

Kepala Bidang Perusahaan BPDP, Achmad Maulizal, mengungkapkan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas strategis yang memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan pangan dan energi nasional. Pemerintah saat ini fokus pada penguatan sektor hilir sawit sebagai langkah mendukung keberlanjutan industri tersebut.

Dukung Ketahanan Energi melalui Hilirisasi Sawit

"Penguatan sawit ini sudah tertuang di program-program Presiden Prabowo seperti dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)," ujar Maulizal dalam Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit bertajuk "Strategi Penguatan Hilirisasi Sawit Bagi Pangan dan Energi Indonesia" di Bogor, Senin (19/2).

Sebagai langkah konkret, BPDP terus mendorong program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk meningkatkan produktivitas tanaman kelapa sawit. Hal ini menjadi prioritas guna mencapai target Indonesia Emas 2045 dengan ketahanan pangan dan energi yang lebih mandiri.

Tanpa adanya PSR, produktivitas sawit Indonesia terus mengalami penurunan. Saat ini, produktivitas petani sawit hanya berkisar 2,5-3 ton per hektar per tahun, jauh di bawah potensi optimal yang bisa mencapai 6-8 ton per hektar per tahun.

Kebutuhan CPO Meningkat untuk Program Biodiesel

Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), R. Edi Wibowo, menjelaskan bahwa kebutuhan minyak sawit mentah (CPO) akan terus meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan biodiesel. Pemerintah menargetkan implementasi program B40 pada tahun 2025, yang diperkirakan akan membutuhkan sekitar 15,6 juta ton CPO.

Program B40 merupakan kebijakan penggunaan bahan bakar solar yang dicampur dengan 40% biodiesel berbasis minyak sawit. Implementasi program ini dijadwalkan mulai 1 Januari 2025.

Edi juga menambahkan bahwa penerapan biodiesel sejauh ini berjalan lancar, baik dari sisi pasokan maupun distribusi. “Saat ini, jarang ditemukan permasalahan teknis seperti mesin kendaraan yang cepat rusak akibat penggunaan biodiesel,” ujarnya.

Lebih lanjut, biodiesel memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Sepanjang tahun 2024, program ini telah menghemat devisa negara sebesar 9,33 miliar dolar AS atau setara dengan Rp149,28 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS). Pada implementasi B40, penghematan devisa diproyeksikan mencapai Rp147,5 triliun, dengan pengurangan emisi karbon sebesar 41,46 juta ton CO2 ekuivalen dan peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel sebesar Rp20,98 triliun.

Pelaku Usaha Dukung Peningkatan Mandatori Biodiesel

Kepala Bidang Sustainability Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Rapolo Hutabarat, menyampaikan bahwa pelaku usaha terus mendukung kebijakan pemerintah dalam meningkatkan mandatori biodiesel.

Sejak tahun 2005, kapasitas terpasang industri biodiesel terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2024, kapasitas produksi telah mencapai lebih dari 20 juta kiloliter (kL). Selain biodiesel, pemerintah juga perlu mendorong pengembangan energi terbarukan lain seperti bioethanol dan bioavtur.

“Program bioethanol belum berjalan optimal seperti yang ditetapkan dalam regulasi. Kita perlu dorong agar bioethanol bisa berkembang, baik dari sawit maupun minyak nabati lainnya,” ungkapnya.

Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fenny Sofyan, menyoroti tantangan utama dalam pengembangan biofuel di Indonesia. Menurutnya, ketidakpastian hukum dan regulasi yang tumpang tindih menjadi hambatan utama bagi sektor sawit.

“Salah satu solusi adalah program PSR, namun sayangnya, ada banyak peraturan yang tumpang tindih dan kebijakan yang mudah berubah. GAPKI berharap pemerintah dapat memberikan kepastian hukum serta legalitas bagi perkebunan sawit,” jelasnya.

Dampak Program B40 bagi Petani Sawit

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung, berharap implementasi program B40 dapat memberikan dampak positif terhadap harga tandan buah segar (TBS) sawit. Namun, ia mencatat bahwa harga TBS justru mengalami penurunan sejak program ini dijalankan.

“Dibandingkan program B30 dan B35, saat B40 mulai diterapkan, harga TBS sawit justru turun menjadi Rp1.000-Rp1.200 per kilogram,” ungkapnya.

Penurunan harga ini diperkirakan terjadi akibat pelarangan ekspor produk minyak sawit berkadar asam tinggi, seperti POME dan HAPOR. Harga minyak sawit berkadar asam tinggi mencapai sekitar Rp9.000 per kg, sedangkan harga CPO berada di kisaran Rp13.000 per kg.

Dengan berbagai tantangan dan peluang yang ada, pemerintah, pelaku usaha, dan petani sawit diharapkan dapat bekerja sama untuk memperkuat sektor kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan utama di Indonesia. Kejelasan regulasi serta dukungan hilirisasi akan menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai swasembada energi berbasis minyak nabati di masa depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index