JAKARTA - Pagi itu di halaman kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lamongan, deretan alat mesin pertanian (alsintan) terlihat mengilap di bawah sinar mentari. Traktor roda empat, rice transplanter, hingga power thresher tersusun rapi, menunggu untuk dioperasikan mengolah tanah-tanah yang selama ini dianggap “tidur” menjadi ladang penghidupan bagi para petani.
Kehadiran alat-alat berat itu bukan sekadar pajangan. Mereka adalah wujud nyata dukungan pemerintah pusat lewat Kementerian Pertanian dalam mempercepat pencapaian swasembada pangan pada tahun 2025. Namun, bukan hanya mesin dan logam yang menarik perhatian. Di antara deretan alsintan, sosok petani paruh baya bernama Tarim menjadi magnet utama.
Tarim: Wajah Ketekunan Petani Lamongan
Tarim, warga Dusun Randegan, Desa Soko, Kecamatan Tikung, adalah contoh nyata perjuangan petani sejati. Dengan bahu tegap dan kulit sawo matang, ia membawa kisah panjang ketahanan dan kerja keras yang lahir dari ladang sawah. Ia mulai bertani sejak lulus SMP, saat itu ia baru berusia 18 tahun dan berasal dari keluarga sederhana yang tak mampu melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
“Saya anaknya orang nggak mampu, mau lanjut sekolah tidak punya uang. Jadi saya langsung turun ke sawah,” ujarnya dengan suara datar, penuh makna. Awalnya ia hanya menggarap 1,5 hektare lahan. Tapi dengan tabungan yang unik—bukan di bank, melainkan dengan memelihara sapi—Tarim perlahan mampu memperluas lahannya menjadi dua hingga tiga hektare.
Sapi yang dimilikinya bukan hanya ternak, tapi modal untuk membeli tanah baru. Saat ada peluang tanah dijual, sapi dijual, lalu hasilnya dipakai untuk memperbesar lahan pertanian. Cara itu menjadikan Tarim semakin mandiri dan berani bermimpi.
Kini, di tahun 2025, Tarim bersama kelompok tani di Lamongan mendapat bantuan traktor rotari roda empat dari pemerintah. Sebelumnya, ia hanya mengandalkan traktor roda dua atau singkal yang lebih kecil dan kurang efisien. “Alhamdulillah sekarang dapat bantuan traktor rotari roda empat. Sebelumnya saya dan petani-petani lain hanya pakai singkal,” katanya sambil tersenyum kecil.
Bantuan alsintan itu bukan hanya soal kemudahan bekerja, tapi juga simbol perhatian pemerintah kepada petani, sebagai garda terdepan ketahanan pangan nasional. Tarim pun tak sungkan mengucapkan terima kasih langsung kepada Menteri Pertanian. “Terima kasih, Pak Menteri!” ucapnya dengan penuh harap.
Harga Gabah Stabil dan Naik, Kunci Semangat Petani
Tak hanya alat baru yang membahagiakan petani Lamongan. Tahun ini, pemerintah juga menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 6.500 per kilogram. Kebijakan ini memberikan kepastian dan perlindungan harga bagi petani.
Lebih menggembirakan, di panen raya terakhir, gabah milik Tarim bahkan dibeli dengan harga Rp 7.100 per kilogram, lebih tinggi dari HPP. “Dulu harga gabah bisa turun drastis pas panen raya, sekarang lebih stabil. Bahkan naik di panen kemarin,” kata Tarim penuh rasa syukur.
Kestabilan dan kenaikan harga ini menjadi sumber semangat baru bagi petani untuk terus mengembangkan usahanya. Menurut Tarim, harga yang wajar membuat petani tidak lagi cemas soal hasil jerih payahnya selama berbulan-bulan di sawah.
Namun, Tarim juga menyoroti tantangan lain yang masih harus dihadapi, yakni harga komoditas palawija seperti kedelai yang relatif rendah. Saat ini, harga kedelai hanya Rp 6.000 per kilogram, jauh dari harapan petani yang ingin agar harganya naik hingga Rp 9.000–10.000 agar menumbuhkan semangat bercocok tanam. “Kalau harga kedelai naik, petani pasti lebih termotivasi menanam kedelai sebagai alternatif,” ujarnya.
Kendati demikian, harapan Tarim tetap besar. Ia percaya bahwa pemerintah akan terus memberikan dukungan berupa alat pertanian, subsidi harga, dan kebijakan lain untuk menguatkan sektor pertanian nasional.
Petani sebagai Pilar Ketahanan Pangan
Di balik deretan alat berat yang siap “bertempur” di ladang, sosok petani seperti Tarim adalah pahlawan sesungguhnya. Mereka bukan hanya menggemburkan tanah, tapi menjaga keberlangsungan pangan bangsa.
Dengan tangan yang kasar karena bajak, dan bahu tegap yang tak kenal lelah, petani mempertaruhkan hidupnya demi panen yang berlimpah. Tarim yang sudah bertani sejak usia 18 tahun membuktikan bahwa ketahanan pangan tidak cukup hanya dengan teknologi dan kebijakan, tetapi juga membutuhkan kerja keras dan kesetiaan para petani.
“Bukan senjata dan seragam yang menyelamatkan bangsa, tapi juga tangan-tangan petani seperti saya yang memilih untuk menanam, bukan menyerah,” katanya.
Melalui program alsintan dan kebijakan harga yang berpihak, petani Lamongan berharap bisa terus meningkatkan produksi dan menjaga stabilitas pangan, agar negeri ini semakin mandiri dan sejahtera.