JAKARTA - Harga minyak mentah dunia menguat tipis pada perdagangan Kamis, 26 Juni 2025, seiring meningkatnya permintaan bahan bakar di Amerika Serikat menjelang musim liburan musim panas. Meski demikian, penguatan harga dibatasi oleh meredanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang sempat menjadi faktor pendorong volatilitas pasar dalam beberapa pekan terakhir.
Mengutip data dari Reuters, harga minyak mentah Brent ditutup naik 5 sen atau 0,07% ke level US$ 67,73 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal Amerika Serikat naik 32 sen atau 0,49% ke US$ 65,24 per barel.
Sebelumnya, pada Rabu, 25 Juni 2025, kedua acuan harga minyak sempat melonjak hampir 1% setelah data resmi menunjukkan bahwa permintaan minyak di AS tetap kuat. Meskipun ada kenaikan, harga Brent masih berada di bawah level penutupan US$ 69,36 pada 12 Juni 2025, yakni satu hari sebelum Israel meluncurkan serangan udara ke Iran, yang memicu kekhawatiran terhadap gangguan pasokan dari kawasan Timur Tengah.
Permintaan Musiman dan Penurunan Stok Dorong Harga
Analis dari ANZ menyebut bahwa permintaan minyak di AS mulai menguat, menyusul awal musim mengemudi musim panas yang sebelumnya lambat. “Pasar mulai menyadari bahwa stok minyak mentah sangat ketat secara tiba-tiba,” ujar Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, seperti dikutip oleh Reuters.
Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) mencatat bahwa persediaan minyak mentah AS mengalami penurunan sebesar 5,8 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 20 Juni 2025. Angka tersebut jauh melebihi ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 797 ribu barel berdasarkan jajak pendapat Reuters.
Penurunan stok ini mengindikasikan tingginya tingkat konsumsi domestik AS, yang biasanya meningkat signifikan pada musim panas karena lonjakan aktivitas perjalanan dan penggunaan bahan bakar.
Faktor Eksternal: Dolar Melemah, Dorong Daya Beli Global
Selain faktor permintaan, pelemahan nilai tukar dolar AS juga memberikan dorongan terhadap harga minyak. Dolar melemah ke posisi terendah dalam tiga tahun terakhir setelah muncul kabar bahwa Presiden AS Donald Trump tengah mempertimbangkan penggantian Ketua Federal Reserve (The Fed), yang memicu spekulasi pasar terkait kemungkinan penurunan suku bunga lebih lanjut.
Melemahnya dolar AS membuat harga minyak menjadi lebih terjangkau bagi pembeli dari negara lain dengan mata uang berbeda. Hal ini meningkatkan daya beli global terhadap minyak dan ikut mendorong permintaan dunia.
Meredanya Ketegangan Geopolitik Timur Tengah
Meski faktor permintaan dan mata uang memberikan dukungan terhadap harga minyak, penguatan lebih lanjut tertahan oleh menurunnya kekhawatiran atas ketegangan di Timur Tengah. Dalam pernyataan terbarunya menjelang penutupan pasar Kamis, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebutkan bahwa konflik bersenjata dengan Iran telah memberikan peluang untuk tercapainya perdamaian.
“Saya percaya bahwa hasil dari perang ini membuka peluang perdamaian yang tidak boleh kita sia-siakan,” kata Netanyahu dalam konferensi pers di Yerusalem.
Presiden AS Donald Trump juga menyatakan harapannya untuk mencapai kesepakatan baru dengan Iran terkait penghentian program nuklirnya. “Kami menyambut baik berakhirnya konflik ini, dan minggu depan, kami akan menjajaki kemungkinan negosiasi lebih lanjut dengan Iran,” ujar Trump.
Meskipun Amerika Serikat tetap memberlakukan sanksi terhadap Iran, termasuk pembatasan penjualan minyak, ada indikasi bahwa Trump mempertimbangkan pelonggaran terbatas untuk membantu stabilisasi ekonomi Iran. Hal ini dapat membuka jalan bagi kembalinya pasokan minyak Iran ke pasar global.
Dalam catatan analisis yang diterbitkan oleh Citi, disebutkan bahwa, “Dorongan cepat menuju gencatan senjata menunjukkan bahwa Presiden Trump cukup sensitif terhadap tingginya harga minyak. Ini berpotensi membatasi premi risiko geopolitik meski ketegangan belum sepenuhnya usai.”
Prospek Pasar Minyak
Dengan permintaan musiman yang meningkat dan ketatnya pasokan minyak mentah, prospek jangka pendek harga minyak tetap positif. Namun, pelaku pasar tetap akan mencermati perkembangan geopolitik, khususnya di Timur Tengah, serta kebijakan suku bunga dan nilai tukar dolar AS, yang menjadi faktor krusial dalam menentukan arah harga selanjutnya.
Jika tensi geopolitik mereda secara konsisten dan pasokan global stabil, maka tekanan terhadap harga kemungkinan akan lebih terkendali. Namun, jika permintaan tetap tinggi dan pasokan terganggu kembali, bukan tidak mungkin harga minyak akan kembali melonjak dalam beberapa pekan ke depan.