JAKARTA - Harga minyak dunia mengalami penurunan signifikan menjelang akhir pekan, dipicu oleh rencana Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) yang mempertimbangkan kenaikan kuota produksi. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran pasar akan potensi kelebihan pasokan minyak global, sehingga menekan harga setelah mengalami tren naik dalam dua pekan sebelumnya.
Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI), salah satu acuan utama minyak dunia, ditutup mendekati level US$60 per barel setelah mengalami pelemahan selama empat hari berturut-turut. Penurunan ini membuat harga WTI mencatat pelemahan mingguan hampir 3%, mengindikasikan tekanan yang signifikan terhadap harga komoditas energi tersebut.
Sementara itu, harga minyak Brent, acuan internasional lainnya, sempat mengalami sedikit kenaikan namun tetap tertahan di atas US$64 per barel. Kinerja Brent masih mencerminkan ketidakpastian pasar terhadap arah kebijakan OPEC+ dalam beberapa pekan ke depan.
OPEC+ Bahas Kenaikan Produksi, Pasar Bereaksi Negatif
Menurut informasi yang dikutip dari beberapa delegasi yang terlibat dalam pembicaraan internal OPEC+, organisasi tersebut saat ini sedang mendiskusikan kemungkinan menaikkan kuota produksi sebesar 411.000 barel per hari untuk bulan Juli mendatang. Meski demikian, hingga kini belum ada kesepakatan resmi yang dicapai.
"Diskusi masih berlangsung dan belum ada keputusan final," ujar salah satu delegasi yang tak disebutkan namanya karena pembicaraan bersifat tertutup.
Rencana penambahan pasokan minyak ini muncul di tengah kekhawatiran akan melimpahnya suplai global, terutama saat prospek permintaan masih dibayangi ketidakpastian ekonomi. Langkah ini dinilai berisiko memicu kelebihan pasokan yang berpotensi menekan harga lebih lanjut.
Koreksi Harga Minyak Terbesar Sejak 2021
Sejak awal tahun 2025, harga minyak dunia telah terkoreksi sekitar 15%. Ini merupakan penurunan terbesar dalam periode waktu yang relatif singkat sejak krisis harga pada tahun 2021. Penyebab utama koreksi ini adalah pelonggaran kebijakan pembatasan produksi yang dilakukan OPEC+ lebih cepat dari ekspektasi pelaku pasar.
Faktor lain yang memperburuk situasi adalah meningkatnya ketegangan geopolitik dan perang dagang yang masih berlangsung antara Amerika Serikat dan sejumlah negara mitra dagangnya. Kebijakan tarif dan pembatasan perdagangan telah menciptakan tekanan tambahan terhadap permintaan energi global.
“Perang dagang yang dipimpin Amerika Serikat telah membebani prospek pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak global. Ketidakpastian seperti ini biasanya memicu kehati-hatian investor,” ujar analis energi senior dari Global Energy Watch, Michelle Tan.
Reaksi Pasar dan Proyeksi Ke Depan
Reaksi pasar terhadap sinyal dari OPEC+ menunjukkan betapa sensitifnya harga minyak terhadap proyeksi suplai dan permintaan. Para investor dan analis kini memantau ketat hasil pertemuan resmi OPEC+ yang dijadwalkan berlangsung dalam beberapa pekan mendatang.
"Pasar sangat responsif terhadap sinyal produksi OPEC+. Jika benar-benar terjadi penambahan produksi, maka potensi tekanan harga akan lebih besar, kecuali terjadi lonjakan permintaan global secara tiba-tiba," kata analis komoditas dari Energy Insight Asia, Darius Hadi.
Dalam jangka pendek, volatilitas harga minyak diperkirakan masih tinggi, terutama dengan adanya ketidakpastian makroekonomi global dan ketegangan politik yang belum mereda.
Dengan harga minyak dunia yang terus berfluktuasi dan potensi kebijakan OPEC+ yang dapat memperbesar pasokan, pelaku pasar disarankan untuk bersikap waspada. Rencana peningkatan produksi OPEC+ menjadi variabel penting dalam menentukan arah harga energi global dalam waktu dekat. Sementara itu, prospek permintaan akan sangat ditentukan oleh stabilitas ekonomi dunia dan hasil negosiasi perang dagang yang sedang berlangsung.
Langkah strategis dari OPEC+ dan tanggapan negara konsumen utama seperti Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, akan menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan pasar minyak internasional ke depan.