Batu Bara

Indonesia Jadi Negara Ketiga Penghasil Emisi Metana Sektor Batu Bara Terbesar di Dunia, Ini Dampaknya

Indonesia Jadi Negara Ketiga Penghasil Emisi Metana Sektor Batu Bara Terbesar di Dunia, Ini Dampaknya
Indonesia Jadi Negara Ketiga Penghasil Emisi Metana Sektor Batu Bara Terbesar di Dunia, Ini Dampaknya

JAKARTA — Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam daftar negara penghasil emisi metana terbesar dari sektor batu bara pada tahun 2024. Fakta ini diungkap dalam laporan Global Methane Tracker terbaru yang dirilis oleh International Energy Agency (IEA). Posisi Indonesia hanya berada di bawah Tiongkok dan Rusia, menunjukkan bahwa sektor batu bara tanah air menjadi kontributor signifikan terhadap percepatan krisis iklim global.

Menurut IEA, emisi metana yang dihasilkan dari aktivitas tambang batu bara di Indonesia mencapai 2,4 juta ton metana (CH₄) sepanjang tahun 2024. Jumlah ini setara dengan 198 juta ton emisi karbon dioksida (CO₂) jika diukur dalam dampak pemanasan jangka pendek menggunakan standar Global Warming Potential (GWP) metana selama 20 tahun.

“Data menunjukkan bahwa emisi metana dari tambang batu bara Indonesia secara signifikan jauh di atas apa yang dilaporkan, dengan intensitas metana 12,5 kali lebih tinggi dibandingkan faktor emisi yang saat ini digunakan oleh pemerintah,” kata Dody Setiawan.

Dibandingkan Negara Lain

Secara global, Tiongkok berada di peringkat pertama sebagai negara penghasil emisi metana tertinggi dari sektor batu bara, dengan angka 18,5 juta ton per tahun. Disusul oleh Rusia sebanyak 3,4 juta ton, kemudian Indonesia di peringkat ketiga. Di bawah Indonesia, terdapat India dan Amerika Serikat dengan masing-masing 1,9 juta ton dan 1,7 juta ton metana.

Pelaporan Emisi Masih Bermasalah

Ironisnya, data emisi metana dari Indonesia yang dilaporkan ke UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) pada 2019 hanya sebesar 100.000 ton, jauh lebih kecil dibandingkan angka sesungguhnya. Selisih ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian pelaporan dan potensi kekeliruan dalam metode perhitungan yang masih digunakan hingga kini.

Ember menilai bahwa Indonesia masih menggunakan faktor emisi yang tidak lagi relevan dengan kondisi aktual di lapangan. Masalah ini disebut menjadi hambatan dalam upaya Indonesia mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca.

“Indonesia perlu segera meningkatkan pemantauan metana dengan metode pengukuran langsung di lapangan, serta mengembangkan faktor emisi yang lebih spesifik dan relevan untuk masing-masing wilayah tambang,” tambah Dody.

Mengapa Metana Lebih Berbahaya?

Metana (CH₄) merupakan gas rumah kaca yang memiliki dampak pemanasan global jauh lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO₂). Dalam jangka waktu 20 tahun, satu ton metana memiliki potensi pemanasan setara 82,5 kali lipat dari satu ton CO₂. Meski memiliki masa hidup lebih pendek di atmosfer sekitar 12 tahun dibandingkan ratusan tahun pada CO₂ metana menyerap energi dalam jumlah besar dan mempercepat pemanasan global secara signifikan.

Selain itu, metana juga berkontribusi terhadap pembentukan ozon permukaan (troposfer), polutan berbahaya yang dapat merusak kualitas udara dan membahayakan kesehatan manusia. Kebocoran metana di area tambang juga meningkatkan risiko ledakan, yang membahayakan pekerja dan komunitas sekitar.

Solusi Ada, Tapi Masih Minim Aksi

IEA menekankan bahwa upaya pengurangan emisi metana tidak memerlukan terobosan teknologi baru. Bahkan, setidaknya setengah dari total emisi metana dari tambang batu bara bisa ditekan dengan biaya rendah, asalkan ada komitmen dan kebijakan tegas dari pemerintah dan pelaku industri.

Sektor bahan bakar fosil saat ini menyumbang hampir sepertiga dari total emisi metana global, dengan angka mencapai 120 juta ton per tahun. Rekor produksi minyak, gas, dan batu bara dalam beberapa tahun terakhir justru tidak diiringi oleh kebijakan mitigasi yang memadai.

“Pengurangan cepat dan berkelanjutan terhadap emisi metana adalah kunci dalam membatasi pemanasan global dalam jangka pendek,” tulis IEA dalam laporannya.

Indonesia Didorong Lebih Serius di Panggung Internasional

Sebagai negara yang telah menandatangani komitmen Global Methane Pledge, Indonesia dituntut untuk segera mereformasi sistem inventarisasi emisinya. Komitmen ini bertujuan memangkas emisi metana global sebesar 30% pada 2030 dibandingkan level 2020.

Dengan peran signifikan sektor batu bara dalam emisi nasional, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencetak pencapaian dalam agenda iklim asal dibarengi dengan reformasi kebijakan, peningkatan transparansi data, serta dorongan terhadap industri untuk melakukan perbaikan teknis.

Kunci keberhasilan ada pada peningkatan sistem pemantauan, pembaruan faktor emisi yang lebih akurat, dan pelaporan transparan yang mendasari kebijakan iklim berbasis sains. Dalam kondisi darurat iklim saat ini, waktu bukan sekadar aset, melainkan pertaruhan nasib generasi mendatang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index