Minyak

Harga Minyak Dunia Menguat: WTI Sentuh US$ 59,53 dan Brent Tembus US$ 62,52 per Barel

Harga Minyak Dunia Menguat: WTI Sentuh US$ 59,53 dan Brent Tembus US$ 62,52 per Barel
Harga Minyak Dunia Menguat: WTI Sentuh US$ 59,53 dan Brent Tembus US$ 62,52 per Barel

JAKARTA — Harga minyak mentah global kembali melanjutkan tren penguatan pada perdagangan pagi hari ini, Rabu, 7 Mei 2025, seiring dengan menurunnya produksi minyak di Amerika Serikat dan meningkatnya permintaan dari pasar Eropa dan China. Kondisi ini memberikan sinyal pemulihan pasca tekanan berat yang sempat mendorong harga ke titik terendah dalam empat tahun terakhir.

Berdasarkan data terkini pada pukul 07.45 WIB, harga minyak mentah jenis Brent kontrak pengiriman Juli 2025 naik sebesar 37 sen atau 0,6% menjadi US$ 62,52 per barel. Sementara itu, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Juni 2025 turut menguat sebesar 44 sen atau 0,74% ke posisi US$ 59,53 per barel.

Kedua jenis minyak acuan global tersebut sebelumnya mengalami tekanan signifikan setelah keputusan OPEC+ untuk mempercepat peningkatan produksi, yang memicu kekhawatiran pasar atas potensi kelebihan pasokan. Kekhawatiran itu diperparah oleh dampak kebijakan suku bunga tinggi di Amerika Serikat yang membayangi prospek permintaan energi global.

Namun demikian, sinyal pemulihan permintaan dari dua kawasan ekonomi utama dunia, yaitu Eropa dan China, memberikan dorongan baru bagi harga minyak untuk bangkit. Para analis menilai bahwa pelemahan harga yang terjadi sebelumnya justru memicu reaksi pasar yang berlawanan, dengan meningkatnya aktivitas pembelian oleh para konsumen utama dunia.

Selain itu, tekanan terhadap aktivitas pengeboran di Amerika Serikat juga menjadi katalis penguatan harga minyak. Beberapa perusahaan energi besar AS, seperti Diamondback Energy dan Coterra Energy, telah mengumumkan langkah pemangkasan jumlah rig yang beroperasi. Pengurangan ini diperkirakan akan berdampak langsung terhadap turunnya produksi minyak AS dalam jangka menengah.

“Kami memperingatkan bulan lalu bahwa harga yang turun dan aktivitas pengeboran yang menurun meningkatkan risiko penurunan produksi minyak AS,” kata Daniel Hynes, Senior Commodity Strategist di ANZ Bank, seperti dikutip dari laporan pasar.

Sinyal pelemahan produksi juga diperkuat oleh laporan penurunan persediaan minyak mentah di AS. Berdasarkan data yang dirilis oleh American Petroleum Institute (API), stok minyak mentah AS turun sebesar 4,5 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 2 Mei 2025. Angka ini jauh lebih besar dibanding ekspektasi pasar.

Sebagai perbandingan, para analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan penurunan hanya sekitar 800.000 barel untuk periode yang sama. Data resmi dari Energy Information Administration (EIA) pemerintah AS dijadwalkan akan dirilis hari ini pukul 10:30 waktu setempat atau 14:30 GMT, dan akan menjadi perhatian utama pelaku pasar.

Dari sisi permintaan, kondisi juga menunjukkan sinyal positif. Di China, konsumen meningkatkan pengeluaran selama libur panjang May Day, yang berlangsung selama lima hari. Kenaikan aktivitas konsumsi ini menjadi indikator membaiknya permintaan bahan bakar di negara importir minyak terbesar dunia tersebut.

Sementara itu, di Eropa, ekspektasi pertumbuhan ekonomi kuartal pertama turut memperkuat sentimen positif. Perusahaan-perusahaan di kawasan tersebut diperkirakan akan melaporkan pertumbuhan laba kuartal I sebesar 0,4%, meningkat dari proyeksi sebelumnya yang mencatatkan penurunan sebesar 1,7%.

Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor korporasi Eropa mulai mengalami pemulihan yang secara tidak langsung mendukung permintaan energi, termasuk minyak mentah.

Di sisi kebijakan moneter, pelaku pasar juga menantikan keputusan terbaru dari bank sentral AS, Federal Reserve, yang akan mengumumkan kebijakan suku bunga pada hari ini. Mayoritas analis memperkirakan bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan tetap, mengingat tekanan inflasi yang masih tinggi serta perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat tarif tinggi.

Gabungan dari faktor-faktor tersebut penurunan produksi, peningkatan permintaan global, serta stabilitas kebijakan moneter AS memberikan pijakan yang lebih kuat bagi harga minyak dunia untuk melanjutkan tren penguatan dalam beberapa waktu ke depan.

Kenaikan harga minyak ini dipandang sebagai sinyal positif bagi negara-negara produsen, termasuk Indonesia, meski di sisi lain bisa memberikan tekanan terhadap inflasi domestik melalui kenaikan harga bahan bakar.

Dengan dinamika global yang masih fluktuatif, para analis menyarankan pelaku pasar tetap mencermati perkembangan fundamental, terutama pasokan global dan kebijakan OPEC+, yang memiliki pengaruh besar terhadap pergerakan harga minyak dunia ke depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index