JAKARTA - Harga minyak mentah dunia mencatat lonjakan tajam pada Kamis, 1 Mei 2025, usai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengancam akan menerapkan sanksi sekunder terhadap Iran. Pernyataan tersebut disampaikan menyusul pembatalan perundingan putaran keempat terkait program nuklir Iran yang sedianya digelar di Roma pada Sabtu, 3 Mei 2025.
Dikutip dari Reuters, harga minyak jenis Brent ditutup naik sebesar US$1,07 atau 1,8 persen menjadi US$62,13 per barel. Sementara itu, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) melonjak US$1,03 atau 1,8 persen ke level US$59,24 per barel. Kenaikan ini menjadi salah satu yang tertinggi dalam beberapa pekan terakhir, setelah sebelumnya harga minyak mengalami penurunan bulanan terbesar sejak 2021.
Trump menegaskan bahwa seluruh pembelian minyak maupun produk petrokimia dari Iran harus dihentikan total. Jika tidak, negara atau entitas yang tetap melanjutkan kerja sama tersebut akan dikenakan sanksi sekunder langsung oleh pemerintah AS.
“Kalau pemerintahan Trump berhasil menegakkan sanksi sekunder atas pembelian minyak Iran, itu bisa memangkas pasokan global sekitar 1,5 juta barel per hari,” ujar Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow.
Ancaman ini semakin memicu ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah dan menambah kekhawatiran pasar terhadap potensi terganggunya pasokan global. Terlebih, kondisi ini terjadi di tengah sinyal dari OPEC+ untuk kembali menaikkan produksi dalam beberapa bulan ke depan.
Delapan negara anggota OPEC+ dijadwalkan menggelar pertemuan pada 5 Mei 2025 untuk membahas rencana produksi bulan Juni. Beberapa di antaranya bahkan disebut ingin mempercepat penambahan output menyusul tren harga yang mulai menguat.
Di sisi lain, Arab Saudi dikabarkan telah memberi sinyal kepada negara-negara sekutunya bahwa mereka tidak akan memangkas suplai minyak demi menjaga harga tetap tinggi. Negeri kaya minyak itu bahkan disebut siap menghadapi periode harga rendah yang berkepanjangan, sebuah strategi yang mungkin bertujuan menjaga pangsa pasar dari kompetitor non-OPEC.
Kondisi ini diperburuk dengan rilis data ekonomi terbaru dari Amerika Serikat yang menunjukkan kontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir. Lonjakan impor akibat strategi antisipatif dunia usaha terhadap potensi tarif baru dari Trump turut membebani pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal I-2025.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters juga menunjukkan bahwa kebijakan tarif Presiden Trump meningkatkan kekhawatiran akan potensi resesi global tahun ini. Pasar kini semakin cemas dengan kombinasi antara ketegangan geopolitik, fluktuasi harga energi, dan ketidakpastian ekonomi global yang tinggi.
Dengan ketegangan antara AS dan Iran yang kembali meningkat serta potensi pengurangan pasokan dari Timur Tengah, pelaku pasar energi di seluruh dunia kini menanti arah kebijakan lanjutan dari Washington dan OPEC+.