JAKARTA - Kinerja perbankan nasional pada kuartal pertama dan semester I tahun 2025 menunjukkan tren pertumbuhan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) yang melambat, bahkan stagnan di beberapa bank besar. Kondisi ini turut mempengaruhi pertumbuhan laba yang hanya tumbuh minimal atau bahkan menurun.
Contohnya adalah PT Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang hanya mampu mencatat pertumbuhan NII sebesar 2,80% secara year on year (YoY) di Juni 2025, menjadi Rp 73,27 triliun. Secara kuartalan, pertumbuhannya mencapai 4,4%, tetapi secara tahunan semester I-2025 justru mengalami penurunan 11,5% menjadi Rp 26,27 triliun.
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mengalami kontraksi NII sebesar minus 2,90% YoY menjadi Rp 10,60 triliun di Juni 2025. Secara kuartalan, NII BNI juga menurun 3,94%. Hal ini tercermin pada laba bersih semester I-2025 yang anjlok 5,58% menjadi Rp 10,09 triliun.
Sebaliknya, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mampu menjaga pertumbuhan NII meski terbilang minimal. Secara kuartalan, pertumbuhan NII BBCA hanya 1,6%, namun secara YoY tumbuh 7% mencapai Rp 42,5 triliun. Laba bersihnya juga naik 8% menjadi Rp 29 triliun pada semester I-2025.
Hera F. Haryn, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, mengatakan bahwa BCA fokus mengoptimalkan pendapatan dari berbagai lini bisnis. “BCA berkomitmen mendorong penyaluran kredit di berbagai sektor dan memperkuat platform perbankan transaksi,” ujar Hera.
Pertumbuhan kredit BCA di semester I-2025 tercatat naik 12,9% YoY menjadi Rp 959 triliun. Dengan prospek pasar dan ekonomi yang dinamis, BCA berharap tren positif ini dapat berlanjut hingga akhir tahun.
Strategi Bank Hadapi Tantangan Pendapatan Bunga
Bank-bank lain seperti PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) dan PT Bank OCBC NISP juga mengalami tantangan serupa. Pendapatan bunga bersih CIMB Niaga tercatat turun 0,47% YoY menjadi Rp 6,62 triliun di Juni 2025, sedangkan laba bersihnya hanya tumbuh tipis 1,47% menjadi Rp 3,45 triliun.
Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, mengakui bahwa NII relatif stagnan karena masih tingginya cost of fund (CoF) dan pertumbuhan kredit yang melambat. Namun, pihaknya optimistis dengan upaya pengendalian CoF dan fokus pada kredit dengan margin tinggi seperti Kredit Kendaraan Bermotor yang tumbuh sekitar 25%.
Di sisi lain, PT Bank OCBC NISP mencatatkan pendapatan bunga bersih yang stagnan secara kuartalan, tumbuh hanya 4% YoY menjadi Rp 5,46 triliun. Direktur OCBC, Hartati, menekankan bahwa permintaan kredit dan tingkat suku bunga acuan sangat mempengaruhi NII. Penyaluran kredit OCBC juga tumbuh terbatas, hanya 2% YoY menjadi Rp 166,34 triliun.
“Kedepan, kami berharap permintaan kredit membaik dan penyesuaian cost of fund bisa dilakukan secara bertahap,” ujar Hartati. Fokus saat ini adalah mengakselerasi pertumbuhan dana murah (CASA) sekaligus mendorong penyaluran kredit yang berkelanjutan dengan prinsip kehati-hatian.
Dari sisi analis perbankan, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, mengungkapkan perlambatan NII ini dipengaruhi oleh dua faktor utama: pertumbuhan kredit yang melambat dan kenaikan biaya dana.
“Jika relaksasi suku bunga acuan BI (BI rate) terus berlanjut, maka tekanan biaya dana akan berkurang, sehingga potensi pendapatan bunga bersih kembali naik,” kata Trioksa.
Trioksa juga menyarankan agar bank memperkuat rasio CASA dan mengelola biaya dana secara efisien, selektif dalam ekspansi kredit, serta melakukan efisiensi operasional untuk memaksimalkan pendapatan bunga.
Prospek Kedepan
Walaupun sebagian besar bank mengalami pertumbuhan pendapatan bunga yang terbatas bahkan negatif, ada tanda-tanda optimisme di beberapa bank yang melakukan pengelolaan dana dan kredit secara lebih cermat. Penguatan dana murah dan selektivitas dalam penyaluran kredit menjadi kunci untuk menjaga stabilitas pendapatan bunga.
Dalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan, perbankan nasional harus terus menyesuaikan strategi agar mampu menghadapi dinamika pasar sekaligus menjaga pertumbuhan laba secara berkelanjutan.