JAKARTA - Film Panggil Aku Ayah menghadirkan cerita yang menghangatkan hati sekaligus menguras emosi. Adaptasi resmi dari film Korea Pawn (2020) ini memadukan nuansa lokal dengan kisah universal tentang keluarga, ikatan emosional, dan perubahan hati. Disutradarai Benni Setiawan, film ini mengajak penonton merenungkan arti keluarga sejati yang tidak selalu terikat oleh darah, melainkan oleh cinta dan kebersamaan.
Perjalanan Dua Dunia yang Bertemu
Cerita berawal dari Dedi (diperankan oleh Andy/aktor sesuai asli) dan Tatang (aktor sesuai asli), dua penagih utang yang menjalani kehidupan keras. Suatu hari, mereka didatangi seorang ibu yang terdesak membayar utang dan terpaksa menjaminkan anak perempuannya, Intan, kepada mereka. Awalnya, kehadiran Intan hanyalah konsekuensi dari pekerjaan yang mereka jalani. Namun, seiring waktu, situasi ini justru menjadi awal dari perubahan besar dalam hidup mereka.
Intan yang polos dan penuh rasa ingin tahu, lambat laun mencairkan hati keduanya. Momen-momen kecil seperti sarapan bersama, obrolan ringan sebelum tidur, atau tawa sederhana di sela kesibukan, membentuk ikatan yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan. Dari sini, penonton dibawa pada proses transformasi emosi yang mengajarkan bahwa kasih sayang bisa tumbuh di tempat yang tidak terduga.
Ikatan Keluarga Tanpa Darah
Kisah ini memperlihatkan konsep keluarga dari sudut pandang yang berbeda. Dedi dan Tatang yang awalnya hanya terikat urusan uang, perlahan belajar arti tanggung jawab dan pengorbanan. Hubungan mereka dengan Intan menjadi gambaran nyata bahwa keluarga tidak selalu dibentuk oleh hubungan biologis.
Dalam banyak adegan, penonton dapat merasakan bagaimana Dedi berusaha menjadi sosok pelindung, sementara Tatang sering kali menghibur dan menguatkan Intan di saat-saat sulit. Kehangatan itu mencerminkan pesan utama film: cinta dan kepedulian adalah fondasi keluarga yang sebenarnya.
Film ini juga memperlihatkan pertumbuhan Intan, dari seorang anak yang terpaksa tinggal bersama dua pria asing menjadi sosok yang menghargai kehadiran mereka layaknya ayah sendiri. Di usia dewasanya, Intan (diperankan oleh Tissa Biani) merefleksikan kembali masa kecilnya dan menyadari bahwa figur ayah bisa datang dari mereka yang setia hadir, bukan sekadar dari mereka yang memiliki hubungan darah.
Sentuhan Budaya dan Emosi Lokal
Sebagai adaptasi, Panggil Aku Ayah tidak hanya menyalin cerita dari Pawn, tetapi juga memadukan latar budaya Indonesia yang kental. Benni Setiawan dan tim produksi menyesuaikan detail-dialog, setting, dan bahasa agar dekat dengan realitas sosial penonton lokal. Nilai-nilai kekeluargaan khas masyarakat Indonesia seperti gotong royong, rasa hormat kepada orang tua, dan solidaritas terlihat jelas di sepanjang alur.
Penampilan para pemeran pun memegang peran penting dalam menyampaikan emosi yang tulus. Chemistry antara para karakter terbangun dengan natural, sehingga hubungan yang awalnya canggung berubah menjadi hangat terasa meyakinkan.
Menggugah dan Menginspirasi
Selain menghadirkan drama emosional, film ini menyampaikan pesan yang relevan untuk kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang menemukan sosok keluarga di luar lingkaran biologis mereka. Film ini mengingatkan bahwa perhatian, kesetiaan, dan pengorbanan adalah kunci membangun hubungan yang bermakna.
Adegan-adegan mengharukan di film ini, termasuk momen ketika Intan kecil memanggil Dedi sebagai “ayah” untuk pertama kalinya, menjadi titik balik yang menyentuh. Hal ini tidak hanya mengubah kehidupan Dedi dan Tatang, tetapi juga meninggalkan kesan mendalam bagi penonton.
Panggil Aku Ayah adalah film keluarga yang berhasil memadukan kisah emosional dengan nuansa budaya lokal. Pesan utamanya sederhana namun kuat: keluarga bisa hadir dari mana saja, selama ada cinta dan kepedulian yang tulus. Film ini mengajak kita untuk menghargai orang-orang yang hadir dalam hidup, meskipun hubungan itu tidak terikat oleh darah.
Dengan akting yang solid, alur cerita yang menyentuh, serta pengemasan yang hangat, film ini menjadi salah satu tontonan yang mampu meninggalkan bekas di hati penontonnya. Ia tidak hanya bercerita, tetapi juga mengajarkan makna keluarga dalam bentuk yang paling murni.