Kuliner

Gulai Tunjang, Warisan Kuliner Minang yang Tetap Digemari

Gulai Tunjang, Warisan Kuliner Minang yang Tetap Digemari
Gulai Tunjang, Warisan Kuliner Minang yang Tetap Digemari

JAKARTA - Di tengah derasnya arus kuliner modern dan cepat saji, beberapa hidangan tradisional tetap bertahan bahkan kian diminati. Salah satu yang menjadi kebanggaan Nusantara adalah gulai tunjang, sajian khas Minangkabau berbahan dasar kaki sapi yang diolah dengan rempah-rempah melimpah. Lebih dari sekadar hidangan, gulai tunjang adalah bagian dari identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.

Filosofi dan Kekayaan Rasa Gulai Tunjang

Gulai tunjang, atau dikenal juga dengan gulai kikil, menghadirkan kuah santan kental berwarna kuning keemasan dengan cita rasa gurih, pedas, dan kaya rempah. Bagi masyarakat Minang, hidangan ini bukan hanya tentang kelezatan rasa, tetapi juga mencerminkan filosofi menghargai setiap bagian hewan yang dikonsumsi.

Kaki sapi yang menjadi bahan utama terkenal keras dan berserat, membutuhkan proses panjang untuk diolah hingga empuk. Proses ini mengajarkan kesabaran sekaligus memperlihatkan nilai “no waste” dalam kuliner Minang. “Gulai tunjang adalah bentuk nyata dari prinsip tidak ada yang terbuang, semua bisa diolah menjadi sajian bernilai tinggi,” ungkap pakar kuliner tradisional, Yulinar Simatupang, dalam sebuah diskusi kuliner di Padang.

Proses Pembuatan yang Penuh Ketelitian

Mengolah gulai tunjang bukan pekerjaan singkat. Dimulai dari membersihkan kaki sapi hingga benar-benar bebas dari bau prengus, lalu direbus selama berjam-jam hingga teksturnya empuk dan kenyal.

Bumbu gulai disiapkan dari cabai merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, lengkuas, ketumbar, dan serai yang dihaluskan. Bumbu tersebut ditumis hingga harum, kemudian dicampur dengan santan kental. Tambahan daun salam, daun jeruk, dan asam kandis memberikan keseimbangan rasa gurih, pedas, dan segar.

Setelah kuah matang, potongan tunjang dimasukkan dan dimasak kembali hingga rempah benar-benar meresap. “Resep ini diwariskan dari ibu saya, dan dulu dari nenek saya. Biasanya kami memasak gulai tunjang saat Lebaran atau kenduri,” ujar Rosmala, ibu rumah tangga asal Bukittinggi yang kini menetap di Depok.

Dari Tradisional Hingga Modern

Kini, gulai tunjang tak lagi hanya ditemukan di Sumatera Barat. Rumah makan Padang di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Medan kerap menyajikannya sebagai menu andalan. Bahkan beberapa restoran kekinian mengemasnya dengan tampilan modern tanpa meninggalkan cita rasa asli.

Salah satunya di Jakarta Selatan, sebuah restoran Padang modern menyajikan gulai tunjang dalam wadah bambu, lengkap dengan nasi gurih, sambal lado ijo, dan kerupuk kulit. “Kami ingin menyasar generasi muda dengan tampilan kekinian, tapi rasa tetap otentik. Hasilnya, gulai tunjang jadi menu favorit karena kuahnya mantap dan teksturnya unik,” kata Rendra, pemilik restoran tersebut.

Tak hanya di restoran, gulai tunjang juga populer di layanan katering dan aplikasi pesan makanan. Pesanan melonjak terutama saat Ramadhan dan hari besar Islam.

Nilai Gizi dan Perhatian Kesehatan

Meski menggugah selera, gulai tunjang sebaiknya dikonsumsi dengan bijak. Kandungan lemak dari santan dan kaki sapi cukup tinggi sehingga bisa meningkatkan kadar kolesterol. Namun di sisi lain, kaki sapi juga mengandung kolagen yang baik untuk kesehatan sendi dan kulit. Dengan porsi yang seimbang, gulai tunjang tetap bisa menjadi bagian dari menu sehat.

Warisan Rasa yang Layak Mendunia

Lebih dari sekadar kuliner tradisional, gulai tunjang adalah representasi budaya dan ketekunan masyarakat Minangkabau. Dengan inovasi penyajian, promosi digital, dan kesetiaan pada cita rasa otentik, gulai ini berpotensi menjadi ikon kuliner Indonesia di kancah internasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index