Logistik

Logistik Mahal, Kereta Api Muncul Jadi Alternatif Efisien

Logistik Mahal, Kereta Api Muncul Jadi Alternatif Efisien
Logistik Mahal, Kereta Api Muncul Jadi Alternatif Efisien

JAKARTA - Tingginya biaya logistik masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur yang belum merata, distribusi barang sejauh ini masih bergantung pada truk dan moda darat lainnya. Namun, pola ini mulai menimbulkan masalah serius dari emisi karbon hingga anggaran negara yang terkuras untuk pemeliharaan jalan.

Salah satu solusi yang mulai banyak dilirik adalah pengalihan pengiriman barang ke jalur kereta api. Data Semester I 2025 menunjukkan, pengangkutan barang melalui kereta mengalami pertumbuhan signifikan. KAI Logistik, anak usaha PT KAI yang bergerak di bidang distribusi logistik berbasis rel, mencatat volume pengiriman sebesar 11,2 juta ton, yang terdiri atas kontainer, non-kontainer, dan kiriman ritel.

“Dari total volume angkutan yang dikelola selama Semester I 2025, sektor batu bara tetap menjadi tulang punggung dengan kontribusi sebesar 73% atau sekitar 8,4 juta ton. Diikuti oleh angkutan BBM/BBK sekitar 1,5 juta ton dan angkutan semen sekitar 211 ribu ton,” jelas Direktur Utama KAI Logistik, Fredi Firmansyah.

Peningkatan juga terjadi pada beberapa layanan utama. Angkutan kontainer naik 5% menjadi 1,1 juta ton, pengiriman kurir tumbuh 9% menjadi 29.573 ton, dan layanan angkutan limbah B3 melonjak 210% menjadi 6.966 ton.

Truk ODOL, Emisi Karbon, dan Jalan Rusak: Mengapa Kereta Perlu Didukung

Meskipun kereta menawarkan efisiensi, sebagian besar pelaku usaha masih menjadikan truk sebagai moda utama. Akibatnya, dampak buruk seperti emisi karbon tinggi dan kerusakan infrastruktur jalan terus membebani negara. Berdasarkan studi, emisi yang dihasilkan kereta jauh lebih rendah — hanya sepersejuh dari truk untuk volume dan jarak yang sama.

Sektor transportasi sendiri menyumbang sekitar 27% dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia, dan hampir seluruhnya berasal dari kendaraan darat berbahan bakar fosil. Selain lingkungan, biaya perawatan jalan juga sangat besar. Kementerian PUPR mencatat, kerusakan jalan nasional akibat kendaraan berat bisa menyedot lebih dari Rp43 triliun per tahun dari anggaran negara.

Di sisi lain, truk over dimension and overload (ODOL) masih jadi persoalan krusial. Kendaraan ini menjadi biang kerok 10,5% kecelakaan secara nasional dan menyumbang hingga 40% kecelakaan di jalan tol.

“Setiap hari ada saja kecelakaan karena kegagalan pengereman truk ODOL. Ini sudah seperti pencabut nyawa di jalanan kita,” ujar Deddy Herlambang, Koordinator Indonesia Toll Road Watch.

Meskipun sudah ada kesepakatan nasional untuk penghapusan ODOL sejak 2020, implementasinya terus tertunda. Baru pada 1 Juni 2025, pemerintah resmi memulai masa sosialisasi Zero ODOL selama 30 hari. Menurut Deddy, tanpa kemauan politik dari pemerintah, kebijakan ini hanya akan berputar tanpa hasil.

“Tanpa dukungan politis Presiden, kebijakan Zero ODOL akan terus berputar tanpa hasil. Bahkan sejak 2016 targetnya terus diundur karena tarik-menarik kepentingan antar lembaga,” tegasnya.

Kereta Sebagai Masa Depan Logistik Nasional

Permasalahan logistik Indonesia tak hanya menyangkut ODOL. Deddy juga menyoroti praktik pungutan liar di jalan yang menambah beban biaya logistik. Ia mencontohkan pengiriman semen 20 ton dari Jakarta ke Cirebon, dengan tarif kontrak Rp5 juta, seringkali ditekan lagi agar biaya ke konsumen tetap rendah. Akibatnya, pengusaha truk terpaksa mengangkut muatan berlebih untuk mengejar margin.

Model distribusi seperti ini jelas tidak berkelanjutan. Diperlukan perombakan sistem, dan moda kereta api dinilai sebagai jalan keluar. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa telah menggunakan kereta api untuk lebih dari 80% distribusi logistik nasionalnya. Di sana, satu rangkaian kereta barang bahkan bisa mencapai 1-2 kilometer panjangnya.

Sayangnya, di Indonesia, kontribusi moda kereta terhadap logistik nasional baru mencapai 0,7%. Sisanya masih didominasi oleh truk. Deddy menyebut perlu ada keberpihakan serius dari pemerintah untuk mendorong transformasi ini.

"Pemerintah bisa memberikan subsidi untuk biaya double handling dari gudang ke stasiun dan sebaliknya, khususnya untuk angkutan sembako, pupuk, atau bahan pokok," sarannya.

KAI Logistik juga mencatat bahwa pengalihan logistik dari truk ke kereta mampu menurunkan emisi karbon hingga 60% per ton-kilometer. Ini sejalan dengan target nasional mencapai net-zero emission pada 2060.

Sebagai pionir logistik ramah lingkungan, KAI Logistik membuktikan bahwa distribusi barang bisa lebih efisien, aman, dan berkelanjutan. Jika dikelola dengan tepat dan didukung penuh oleh regulasi serta insentif, pengiriman barang lewat kereta bukan hanya solusi sementara, tapi masa depan logistik Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index