JAKARTA - Tahun 2025 membawa kembali kekhawatiran lama yang mulai muncul ke permukaan: potensi epidemi global Chikungunya. Meski bukan penyakit baru, peringatan ini datang seiring munculnya pola yang sangat mirip dengan ledakan kasus besar pada tahun 2004–2007 di kawasan Samudra Hindia. Waktu itu, ratusan ribu orang terdampak. Kini, berbagai negara, termasuk Indonesia, diminta waspada agar sejarah kelam itu tidak terulang.
Apa sebenarnya yang membuat penyakit ini berbahaya? Dan apa saja langkah nyata yang harus segera diambil agar tidak terlambat?
Bukan Penyakit Baru, Tapi Ancaman Nyata
Chikungunya pertama kali ditemukan di Tanzania pada tahun 1952. Nama penyakit ini berasal dari bahasa lokal yang berarti "rasa sakit hebat", menggambarkan salah satu gejala utamanya: nyeri sendi yang sangat menyiksa.
Penyakit ini telah tercatat di sekitar 119 negara dan juga bukan hal asing di Indonesia. Bahkan, ledakan kasus urban atau urban outbreaks sudah pernah tercatat di kawasan Asia Tenggara, termasuk Thailand pada 1967. Ini membuat peringatan internasional yang muncul saat ini menjadi sangat relevan bagi kawasan kita.
Gejala utama Chikungunya antara lain demam tinggi, ruam kemerahan di kulit, nyeri otot dan sendi, sakit kepala, mual, serta rasa lemas. Pada sebagian besar kasus, gejala bersifat ringan dan bisa sembuh sendiri. Namun ada tiga hal yang membuatnya perlu diwaspadai lebih jauh:
Nyeri sendi yang bisa berlangsung sangat lama, bahkan berbulan-bulan.
Komplikasi langka pada mata, jantung, dan sistem saraf.
Potensi kematian, meski jarang, tetap ada dengan angka kematian di bawah 1 persen.
Penyakit ini disebabkan oleh virus CHIKV, termasuk dalam genus Alphavirus dan famili Togaviridae. Penularannya terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus nyamuk yang juga menyebarkan demam berdarah dengue (DBD). Karena itu, pengendalian nyamuk vektor menjadi upaya ganda yang bermanfaat untuk menekan kedua penyakit sekaligus.
Data, Diagnosis, dan Vaksin: Di Mana Kita Sekarang?
Sejak awal 2025, tercatat sekitar 220.000 kasus Chikungunya secara global, dengan 80 kematian. Ini menunjukkan angka yang cukup mengkhawatirkan, terutama jika melihat tren peningkatannya dari waktu ke waktu.
Diagnosis pasti penyakit ini dilakukan melalui pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) pada sampel darah pasien. Selain itu, pemeriksaan antibodi juga dapat menjadi pendukung diagnosis.
Sayangnya, hingga kini belum tersedia obat antivirus khusus untuk melawan virus CHIKV. Penanganan masih bersifat simptomatik, dengan penggunaan analgesik dan antipiretik untuk mengatasi rasa nyeri dan demam.
Beberapa negara sudah memiliki dua jenis vaksin untuk Chikungunya, tetapi di Indonesia, vaksin ini belum tersedia. Organisasi kesehatan internasional dijadwalkan akan mengeluarkan panduan resmi atau position paper tentang vaksin Chikungunya pada tahun 2026. Dalam waktu dekat, forum ahli imunisasi juga akan menggelar rapat membahas langkah strategis terkait vaksin ini.
Lima Langkah Antisipatif yang Perlu Segera Diambil
Dalam menghadapi potensi epidemi global ini, tindakan proaktif adalah satu-satunya cara untuk menekan risiko. Ada lima langkah utama yang disarankan untuk segera dilakukan:
Surveilans sistematis
Bertujuan untuk mengetahui beban penyakit di berbagai wilayah, memantau kecenderungan peningkatan kasus, serta membandingkan data nasional dengan negara lain di kawasan.
Pengendalian jentik nyamuk secara masif
Langkah ini penting sebagai bagian dari strategi pengendalian vektor. Peran aktif kader Juru Pemantau Jentik (Jumantik) harus terus didorong. Kegiatan 3M Plus menguras, menutup, dan mendaur ulang, ditambah langkah pencegahan lain harus diperluas cakupannya, tak hanya untuk DBD, tapi juga Chikungunya.
Persiapan fasilitas diagnosis dan terapi
Rumah sakit dan fasilitas kesehatan perlu dilengkapi dengan alat diagnosis seperti PCR dan kemampuan deteksi antibodi, serta kesiapan layanan terapi dan pengelolaan gejala penyakit ini. Termasuk jika vaksin kelak tersedia, kesiapan distribusi juga perlu direncanakan sejak dini.
Penanganan pasien secara cepat dan tepat
Pasien yang terdeteksi harus segera ditangani untuk mencegah komplikasi. Informasi kepada masyarakat juga penting agar penderita segera mencari pertolongan medis saat gejala muncul.
Koordinasi erat dengan organisasi kesehatan internasional
Indonesia kini berada di bawah koordinasi Kawasan Pasifik Barat, setelah sebelumnya tergabung dalam Kawasan Asia Tenggara. Koordinasi ini penting untuk pembaruan data, strategi kawasan, dan pertukaran informasi.
Waspada Bukan Panik, Tindakan Bukan Penundaan
Ancaman Chikungunya sebagai epidemi global bukan sekadar spekulasi. Dengan pola peningkatan kasus yang mirip dengan dua dekade lalu, risiko ini nyata. Namun, jika semua pihak pemerintah, masyarakat, dan tenaga kesehatan bergerak bersama, potensi wabah besar masih bisa dicegah.
Tindakan cepat jauh lebih bernilai daripada penyesalan di kemudian hari. Semoga langkah-langkah pencegahan yang telah dirancang benar-benar diterapkan secara efektif, demi melindungi masyarakat dari gelombang penyakit yang bisa menyebar cepat melalui gigitan nyamuk di lingkungan kita sendiri.