Ilmiah

Bukti Ilmiah Ungkap Risiko BPA dalam Galon Guna Ulang

Bukti Ilmiah Ungkap Risiko BPA dalam Galon Guna Ulang
Bukti Ilmiah Ungkap Risiko BPA dalam Galon Guna Ulang

JAKARTA - Kekhawatiran global terhadap potensi bahaya Bisphenol A (BPA) dalam kemasan makanan dan minuman kembali mencuat. Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, berbagai hasil riset dari sejumlah negara menunjukkan bahwa senyawa kimia BPA yang kerap ditemukan pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, menyimpan risiko serius bagi sistem hormonal manusia.

Senyawa ini telah lama digunakan dalam pembuatan plastik keras, namun bukti ilmiah yang semakin banyak menegaskan bahwa BPA memiliki efek jangka panjang yang berbahaya bagi tubuh. Tak heran, beberapa negara telah memilih untuk melarang penggunaannya secara total dalam bahan pangan, sementara di Indonesia, langkah pengawasan mulai diperketat meski belum sepenuhnya melarang.

Efek BPA Terbukti Akumulatif dan Tidak Disadari Konsumen

BPA merupakan bahan kimia yang bersifat endocrine disruptor, yakni senyawa yang dapat mengganggu keseimbangan hormon tubuh dengan cara meniru hormon estrogen. Paparan jangka panjang terhadap BPA diketahui bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan reproduksi, obesitas, hingga penyakit kronis seperti kanker dan gangguan perilaku.

Salah satu studi yang banyak dirujuk berasal dari Harvard College tahun 2009, yang menemukan bahwa hanya dalam waktu satu minggu penggunaan wadah berbahan polikarbonat dapat meningkatkan kadar BPA dalam urin sebesar 69 persen. Penelitian ini diperkuat dengan riset terbaru di Kenya pada tahun 2024 yang menguji galon berbahan polikarbonat, baik baru maupun bekas. Hasilnya, semua sampel melepaskan BPA dalam kadar yang melebihi ambang batas konsumsi harian yang sebelumnya ditetapkan sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan.

European Food Safety Authority (EFSA), sebagai badan keamanan pangan Eropa, pada akhirnya memperbarui batas aman konsumsi BPA. Pada April 2023, EFSA secara drastis menurunkan Tolerable Daily Intake (TDI) BPA menjadi hanya 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari—penurunan tajam sebanyak 20.000 kali dari ketentuan tahun 2015. Hal ini mencerminkan keseriusan lembaga tersebut dalam menanggapi risiko kesehatan dari senyawa tersebut.

Bahaya BPA bersifat akumulatif dan sering kali tidak disadari karena efeknya muncul perlahan. Konsumen mungkin tidak langsung merasakan dampaknya, tetapi jika terus-menerus mengonsumsi air dari galon yang mengandung BPA dalam waktu lama, risiko kesehatan akan terus meningkat.

Negara-Negara Ambil Langkah, Indonesia Mulai Bertindak

Meningkatnya bukti ilmiah mengenai bahaya BPA telah mendorong berbagai negara untuk mengambil kebijakan tegas. Komisi Eropa, misalnya, melarang seluruh penggunaan BPA dalam bahan yang bersentuhan dengan makanan dan minuman per 19 Desember 2024. Kebijakan serupa juga telah diadopsi oleh Prancis, Belgia, Swedia, hingga Tiongkok, yang sama-sama memperketat regulasi terhadap bahan kimia tersebut.

Di dalam negeri, perhatian publik mulai terarah ke isu ini seiring dengan ditemukannya fakta lapangan yang cukup mengkhawatirkan. Investigasi Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) pada akhir tahun 2024 menemukan bahwa hampir 40 persen galon guna ulang yang beredar di pasaran telah melewati usia pakai yang direkomendasikan.

Bahkan sebagian galon diketahui telah digunakan selama 2 hingga 4 tahun. Padahal menurut pakar polimer Universitas Indonesia, Prof. Mochamad Chalid, batas aman penggunaan galon adalah satu tahun atau maksimal 40 kali isi ulang.

“Ganula itu seharusnya sudah ditarik dari peredaran karena berpotensi menimbulkan risiko kesehatan,” ujar Ketua KKI, David Tobing. Ia menambahkan, “Semakin tua usia pakai galon guna ulang, semakin banyak BPA yang bisa luruh ke dalam air minum.”

Temuan serupa juga diungkapkan dalam uji post-market oleh BPOM pada Januari 2022. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 33 persen sampel dari distribusi dan 24 persen dari produksi memiliki kadar migrasi BPA yang mendekati ambang bahaya. Yang lebih memprihatinkan, kelompok bayi usia 6–11 bulan serta anak-anak 1–3 tahun berisiko terpapar lebih tinggi, masing-masing 2,4 kali dan 2,12 kali lebih besar dibanding orang dewasa.

Sebagai bentuk respons terhadap kondisi tersebut, BPOM mengeluarkan Peraturan Nomor 6 Tahun 2024 yang mewajibkan produsen mencantumkan label peringatan “Berpotensi Mengandung BPA” pada galon guna ulang berbahan polikarbonat. Peraturan ini memang belum sepenuhnya diberlakukan secara wajib, karena pemerintah memberikan masa transisi hingga 2028.

Namun, KKI mendorong agar penerapan kebijakan itu dipercepat. David Tobing menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya segera menetapkan aturan batas usia pakai galon guna ulang untuk melindungi masyarakat dari paparan kimia berbahaya. “Jangan hanya label saja, tapi perlu juga aturan tegas tentang usia pakai galon,” ucapnya.

Meski masih dalam tahap transisi, regulasi ini diharapkan menjadi pijakan awal untuk membangun perlindungan konsumen yang lebih kuat terhadap bahaya senyawa BPA dalam kemasan makanan dan minuman. Dengan perkembangan riset yang terus berlanjut dan bukti ilmiah yang semakin kuat, langkah lebih berani dari pemerintah menjadi kebutuhan mendesak demi kesehatan jangka panjang masyarakat Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index