JAKARTA - Di tengah persaingan dunia kerja yang kian ketat, penampilan sering kali menjadi bahan perbincangan, terutama saat membahas soal peluang karier. Salah satu istilah yang banyak mencuat adalah "beauty privilege", atau keistimewaan yang dianggap dimiliki seseorang karena penampilannya yang menarik secara fisik.
Meski kerap dianggap sebagai keuntungan tambahan yang bisa mempercepat jenjang karier, banyak pihak juga mempertanyakan validitas dari istilah tersebut. Apakah benar penampilan menarik menjamin seseorang lebih cepat diterima kerja? Ataukah itu hanyalah persepsi yang terbentuk karena bias sosial?
Isu ini kembali menjadi sorotan setelah seorang pengguna akun X @Sivas*** menyuarakan pandangannya yang kontroversial. Dalam unggahannya, ia menilai bahwa beauty privilege sebenarnya hanyalah mitos bagi mereka yang iri.
"Beauty privilege cuma mitos buat yang iri, cewek cakep pasti kerja lebih keras dan pantas dapat lebih. Kalau kamu nggak suka, ya ubah muka sendiri, jangan salahkan dunia!" tulis akun tersebut,
Pernyataan ini pun memicu diskusi panjang di jagat maya, mempertemukan berbagai sudut pandang terkait standar penampilan dalam dunia kerja.
Beauty Privilege: Antara Fakta Sosial dan Realitas Profesional
Beauty privilege sendiri merujuk pada keuntungan sosial dan profesional yang diperoleh seseorang karena dinilai menarik secara fisik oleh standar umum masyarakat. Mereka yang dianggap "menarik" cenderung menerima perlakuan yang lebih baik, peluang karier yang lebih luas, bahkan kepercayaan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang penampilannya dianggap biasa saja.
Namun, dalam dunia kerja yang idealnya berbasis pada meritokrasi, apakah standar ini benar-benar berlaku?
Menurut Head of PR & Social Indonesia, Jobstreet by SEEK, Adham Somantrie, perusahaan pada dasarnya memiliki mekanisme rekrutmen tersendiri yang semestinya mengacu pada prinsip keadilan. Ia menegaskan bahwa proses rekrutmen yang baik mengedepankan asas fair hiring, atau perekrutan yang adil.
“Prinsip rekrutmen yang adil ini mengutamakan kualifikasi, kompetensi, dan kemampuan nyata kandidat untuk menjalankan pekerjaan secara setara,” ujarnya
Adham juga menjelaskan bahwa tidak semua hal yang berkaitan dengan penampilan fisik dapat dikategorikan sebagai beauty privilege. Dalam dunia kerja, perusahaan justru menekankan pada penampilan profesional yang mencerminkan kesiapan kerja, bukan semata-mata berdasarkan standar kecantikan.
“Kami menganjurkan kandidat untuk tampil bersih, rapi, dan profesional, rambut tertata, pakaian pantas, serta menjaga kebersihan diri,” lanjutnya.
Beda Penampilan Menarik dan Penampilan Profesional
Dalam praktiknya, Adham menekankan pentingnya membedakan antara penampilan menarik secara estetika dan penampilan profesional. Dunia kerja, kata dia, lebih membutuhkan kandidat yang tahu cara berpakaian dengan baik, rapi, dan sesuai konteks, bukan yang semata-mata memenuhi standar kecantikan sosial.
Penampilan yang rapi tidak hanya menciptakan kesan pertama yang positif, tapi juga menunjukkan etika dan komitmen terhadap lingkungan kerja profesional. Hal ini penting terutama untuk posisi yang berhubungan langsung dengan publik seperti sektor pelayanan pelanggan, perhotelan, penjualan, dan retail.
“Penampilan tertata membuat kandidat terlihat lebih kompeten dan mampu memberikan rasa nyaman, baik bagi rekan kerja maupun pelanggan,” jelas Adham.
Dalam industri seperti itu, lanjutnya, representasi diri juga mencerminkan citra perusahaan, sehingga penampilan menjadi bagian dari tanggung jawab profesional.
Profesionalisme Tetap Jadi Tolak Ukur
Isu beauty privilege memang menjadi bahan diskusi menarik, terutama dalam konteks sosial media yang sangat visual saat ini. Namun, dalam konteks profesional, standar utama tetaplah pada kompetensi dan sikap kerja, bukan semata-mata penampilan fisik.
Penting bagi pencari kerja untuk memahami bahwa penampilan profesional bukan berarti harus "cantik atau tampan" secara sosial, melainkan cukup dengan tampil bersih, rapi, dan siap bekerja secara etis serta sopan.
Meski opini publik bisa beragam, dunia kerja idealnya terus mendorong rekrutmen berbasis kualitas dan potensi. Dengan begitu, peluang karier dapat diraih siapa pun yang memiliki kemampuan, tak peduli bagaimana rupa mereka di mata masyarakat.