JAKARTA - Di tengah era serba digital, gadget menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gen Z. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, layar ponsel hampir tak pernah lepas dari genggaman. Namun di balik kemudahan dan hiburan instan itu, ada risiko serius yang perlahan-lahan mengintai otak generasi muda.
Kebiasaan scroll TikTok berjam-jam, mengecek notifikasi setiap lima menit, hingga nonton film sambil makan sudah dianggap hal biasa. Namun, aktivitas digital berlebih ini ternyata memberi tekanan luar biasa pada otak, terutama bagi mereka yang usianya masih dalam masa pertumbuhan.
Penelitian ilmiah mulai menunjukkan bahwa penggunaan gadget berlebihan bisa berdampak nyata terhadap struktur dan fungsi otak.
Dampak Nyata pada Fungsi Otak
Temuan dari University of California, San Diego, mengungkap bahwa paparan layar yang berlebihan mengganggu proses pematangan otak, khususnya di bagian prefrontal cortex. Area otak ini memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan, pengendalian impuls, serta perencanaan jangka panjang.
Ketika otak terus-menerus dibanjiri oleh rangsangan cepat seperti video pendek, notifikasi instan, dan aktivitas digital tanpa henti, kemampuan fokus jangka panjang perlahan-lahan menurun. Proses ini membuat otak kesulitan dalam mengolah informasi secara mendalam dan berkelanjutan.
Dalam jurnal JAMA Pediatrics disebutkan bahwa remaja yang menghabiskan waktu lebih dari tujuh jam per hari di depan layar menunjukkan penurunan volume materi abu-abu di otak. Materi ini sangat penting dalam mengendalikan emosi dan memproses informasi.
Efek ini lebih nyata pada anak dan remaja yang otaknya masih dalam masa pertumbuhan, terlebih jika paparan layar terjadi sebelum tidur atau saat baru bangun.
Tanda-Tanda yang Mulai Terlihat
Akibat dari kebiasaan ini tak selalu langsung terasa, tapi tanda-tanda awal mulai tampak dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari kesulitan berkonsentrasi di sekolah, kecemasan sosial yang meningkat, suasana hati yang mudah berubah, hingga menurunnya daya ingat jangka pendek.
Salah satu efek paling umum adalah terganggunya produksi melatonin. Hormon ini berperan mengatur siklus tidur. Saat produksi melatonin menurun, pola tidur pun jadi tidak teratur. Akibatnya, tubuh tak mendapatkan waktu pemulihan yang optimal di malam hari.
Tak hanya itu, gadget juga memicu peningkatan hormon dopamin secara cepat. Dopamin adalah hormon yang membuat seseorang merasa senang, namun lonjakan ini hanya berlangsung singkat. Ketika otak sudah terbiasa dengan stimulus instan seperti itu, aktivitas yang lebih lambat seperti membaca, belajar, atau mengobrol langsung menjadi terasa membosankan.
Solusi Bukan Menjauh, Tapi Mengatur
Meski begitu, bukan berarti gadget harus dijauhi sepenuhnya. Teknologi tetap memiliki banyak manfaat, terutama dalam hal belajar, berkarya, dan berkomunikasi. Yang dibutuhkan adalah kesadaran dan pengaturan yang seimbang.
Beberapa langkah sederhana bisa mulai diterapkan:
Batasi screen time harian. Atur waktu penggunaan gadget, terutama di malam hari menjelang tidur.
Aktifkan mode fokus. Saat belajar atau bekerja, aktifkan pengaturan ponsel agar tidak mudah terganggu oleh notifikasi.
Sediakan waktu bebas gadget. Luangkan minimal satu jam sebelum tidur tanpa layar, dan gunakan waktu itu untuk membaca buku fisik, menulis, atau bercengkerama dengan keluarga.
Dengan membiasakan aktivitas yang bersifat analog, otak diberi kesempatan untuk beristirahat dari rangsangan digital yang terus-menerus.
Keseimbangan Digital untuk Gen Z
Generasi Z merupakan generasi yang tumbuh bersama teknologi. Namun, penting untuk diingat bahwa tubuh dan otak manusia tetap memiliki batasan. Kecanduan gadget bukan hanya soal kurang tidur atau gangguan fokus, tapi juga berpotensi menimbulkan perubahan permanen pada otak.
Keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata menjadi kunci utama agar Gen Z bisa tetap produktif, sehat, dan berkembang secara optimal. Memahami risiko dan mengambil tindakan sejak dini akan membantu mereka menjalani masa depan dengan kualitas hidup yang lebih baik.