JAKARTA - Musim baru Liga Inggris 2025/26 tidak hanya menghadirkan persaingan seru di lapangan hijau, tetapi juga menimbulkan perdebatan di kalangan penggemar setia. Harga tiket musiman yang diumumkan oleh klub-klub Premier League tahun ini naik signifikan, menambah beban finansial bagi para pendukung, terutama yang berasal dari kalangan kelas pekerja.
Liga Inggris sebagai kasta tertinggi sepak bola Inggris semakin terlihat menjauh dari akar dan basis penggemar tradisional yang selama ini menjadi tulang punggungnya. Semakin menguatnya sisi bisnis dan kemewahan dalam industri sepak bola membuat banyak fans merasa “tercekik” oleh biaya tiket yang terus melonjak, sementara pendapatan klub pun meroket. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: sampai kapan para penggemar bisa setia dan bertahan menghadapi harga tiket yang kian mahal?
Kenaikan Harga Tiket: Dari Arsenal Hingga Manchester United
Dari hasil pemantauan yang dilakukan The Mirror, beberapa klub utama Premier League menaikkan harga tiket musiman mereka hingga 14 persen. Arsenal, yang telah dikenal dengan tiket termahal di liga, menaikkan harga sebesar 4 persen, menjadikan biaya satu musim penuh mencapai 1.127 poundsterling atau sekitar Rp22 juta. Kenaikan ini termasuk tiket untuk pertandingan non-Liga Inggris yang juga berbayar.
Meski mendapat kritik, pihak Arsenal menekankan adanya opsi tiket musiman 19 pertandingan mulai dari 921,50 pound dan pengalokasian 1.000 tiket bagi warga lokal selama musim berjalan, sebagai bentuk kepedulian sosial.
Chelsea, juara Conference League, menaikkan harga tiketnya sebesar 9 persen. Meski demikian, tiket termahal mereka, yang dibanderol 880 pound, masih relatif lebih murah dibanding harga tiket termurah Arsenal.
Sementara itu, Tottenham memilih untuk membekukan harga tiketnya pada angka 856 pound, tanpa membedakan usia maupun lokasi duduk penonton. Liverpool, juara Liga Inggris musim lalu, juga mempertahankan harga tiketnya pada 713 pound.
Everton, klub dengan julukan “The People’s Club”, justru menaikkan harga tiket musiman menjadi 730 pound, naik sekitar 80 pound dari musim sebelumnya. Kenaikan ini disambut kritik, terutama mengingat performa tim yang kurang memuaskan musim lalu.
Di sisi lain, klub yang dimiliki oleh Dana Investasi Publik Arab Saudi, Newcastle United, menaikkan harga tiket musiman sebesar 5 persen menjadi 695 pound, seiring dengan keberhasilan mereka meraih gelar pertama dalam 70 tahun terakhir.
Manchester United yang mencatatkan musim Liga Inggris terburuk dalam beberapa tahun terakhir juga menaikkan harga tiketnya sebesar 5 persen menjadi 608 pound. Klub-klub lain seperti Bournemouth dan Aston Villa juga mengikuti tren ini dengan kenaikan harga tiket masing-masing 6 persen dan 5 persen.
Sebuah Realita yang Menuntut Perhatian
Kenaikan harga tiket musim ini bukan hanya angka semata. Ini adalah refleksi dari pergeseran budaya dan ekonomi di dalam dunia sepak bola Inggris. Di satu sisi, klub-klub mendapat pemasukan yang melonjak tajam. Namun di sisi lain, fans setia terutama dari kelas pekerja semakin sulit untuk menikmati pertandingan secara langsung di stadion.
Bagi banyak penggemar, sepak bola bukan sekadar hiburan, tapi juga bagian dari identitas dan komunitas. Harga tiket yang semakin mahal bisa membuat jarak antara klub dan penggemarnya melebar, yang pada akhirnya berpotensi menggerus budaya sepak bola yang sesungguhnya.
Penting bagi para pemangku kepentingan di sepak bola Inggris untuk menyeimbangkan aspek bisnis dengan kebutuhan dan keterjangkauan penggemar. Jika tidak, generasi baru pendukung sepak bola bisa semakin terpinggirkan dari pertandingan yang selama ini mereka cintai.