JAKARTA – Upaya mendorong investasi di sektor hilir minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia dinilai membutuhkan reformasi regulasi secara menyeluruh. Masalah kompleksitas perizinan, tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah, serta lemahnya kepastian berusaha dinilai sebagai faktor utama yang menghambat iklim investasi sektor strategis ini. Hal itu menjadi sorotan utama dalam Rapat Tim Kerja Pemantauan dan Peninjauan Undang-Undang di Bidang Minyak dan Gas Bumi yang digelar Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Selasa,L 3 Juni 2025, di Ruang Muchtar, Jakarta.
Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua Kelompok Kerja (Pokja), Adharinalti, dan menghadirkan Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Rachmad Muhammadiyah, sebagai narasumber utama. Dalam paparannya, Rachmad menegaskan bahwa beban regulasi yang tidak sinkron dan cenderung memberatkan pelaku usaha telah menjadi penghambat nyata dalam pengembangan jaringan dan distribusi energi, khususnya di wilayah pelosok.
“Regulasi yang berbelit, tumpang tindih, serta tidak sinkron antara pusat dan daerah menghambat distribusi dan menurunkan minat investasi,” tegas Rachmad dalam forum tersebut.
Ia menjelaskan, sejumlah aturan administratif seperti kewajiban Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), serta dokumen lingkungan seperti UKL-UPL, tidak hanya mahal dari segi biaya, tetapi juga menyita waktu dan tenaga karena proses birokrasi yang panjang. Situasi ini, menurutnya, membuat pelaku usaha – terutama di daerah kesulitan mengembangkan infrastruktur energi seperti SPBU.
“Kita butuh percepatan layanan dan kepastian berusaha, bukan justru prosedur yang memperlambat dan membebani,” tambah Rachmad.
Hiswana Migas pun mendorong pemerintah untuk membentuk Satuan Tugas Deregulasi Hilir Migas yang memiliki mandat khusus untuk meninjau dan menyederhanakan aturan-aturan yang menghambat investasi. Tidak hanya itu, Rachmad juga mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif fiskal bagi pemerintah daerah agar lebih aktif dalam mendukung pembangunan dan pengelolaan jaringan distribusi migas.
Digitalisasi dan Kemitraan Jadi Kunci Perubahan
Dalam forum yang berlangsung selama beberapa jam tersebut, Hiswana Migas juga menggarisbawahi pentingnya digitalisasi sistem distribusi migas. Rachmad menyebut bahwa penggunaan teknologi dapat menciptakan sistem yang lebih efisien, transparan, dan mudah diawasi oleh pemerintah maupun publik.
Selain digitalisasi, ia juga menekankan perlunya memperkuat kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan distribusi migas, baik dari sisi logistik, penyimpanan, hingga pelayanan konsumen. Menurutnya, model kemitraan tersebut bisa mempercepat perluasan layanan energi ke wilayah terpencil tanpa membebani anggaran negara secara langsung.
BPHN Komit Tindak Lanjuti Masukan
Menanggapi paparan tersebut, Ketua Pokja, Adharinalti, menyampaikan apresiasi terhadap seluruh masukan yang disampaikan. Ia menyatakan bahwa poin-poin yang dikemukakan akan menjadi bahan evaluasi penting dalam penyusunan kebijakan hukum nasional di sektor migas.
“Kami sangat mengapresiasi berbagai pandangan dan usulan yang telah disampaikan. Ini akan menjadi bekal bagi kami dalam melakukan pendalaman lebih lanjut terhadap berbagai regulasi yang dinilai menghambat,” ujar Adharinalti.
Ia menambahkan bahwa BPHN berkomitmen untuk menghadirkan regulasi yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan hukum nasional, tetapi juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi sektor strategis seperti migas.
Reformasi Regulasi: Langkah Mendesak
Rapat ini menggarisbawahi pentingnya reformasi regulasi dalam menciptakan iklim investasi yang kompetitif di sektor energi. Di tengah dinamika global dan transisi energi yang makin cepat, Indonesia dituntut mampu menyediakan sistem perizinan dan tata kelola usaha yang sederhana, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan lapangan.
Tanpa adanya langkah konkret dalam menyederhanakan regulasi dan memperkuat kepastian usaha, sektor migas nasional berisiko kehilangan daya tarik investasi. Hal ini pada akhirnya bisa mengganggu target kemandirian dan ketahanan energi nasional, serta memperlambat pemerataan infrastruktur energi di seluruh wilayah Tanah Air.
Langkah selanjutnya adalah membuka ruang dialog terbuka dan inklusif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku industri, serta masyarakat sipil untuk membahas solusi jangka panjang. Reformasi regulasi yang kolaboratif dan berkelanjutan diharapkan menjadi kunci dalam menciptakan sektor migas yang modern, kompetitif, dan berkelanjutan.