Panas Bumi

Transisi Energi Beracun: Dampak Sosial dan Lingkungan dari Pembangkit Panas Bumi di Indonesia

Transisi Energi Beracun: Dampak Sosial dan Lingkungan dari Pembangkit Panas Bumi di Indonesia
Transisi Energi Beracun: Dampak Sosial dan Lingkungan dari Pembangkit Panas Bumi di Indonesia

JAKARTA - Indonesia tengah gencar mendorong transisi energi ke sumber daya terbarukan. Salah satu tumpuan utama dalam peta jalan energi bersih nasional adalah panas bumi (geothermal), dengan potensi yang sangat besar. Namun, di balik ambisi hijau tersebut, muncul berbagai permasalahan sosial, lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang menuntut perhatian serius.

Berdasarkan data dari otoritas energi nasional, Indonesia memiliki cadangan panas bumi sekitar 23,7 gigawatt (GW), setara dengan 40% dari total cadangan dunia. Sayangnya, hingga 2024, pemanfaatannya baru mencapai 2,3 GW atau hanya sekitar 10%. Terdapat 14 pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang beroperasi di sejumlah wilayah. Namun, keberadaan pembangkit ini kerap memicu konflik dan kerugian di tingkat akar rumput.

Insiden di PLTP Sorik Marapi: Ancaman Nyata bagi Warga

PLTP Sorik Marapi di Mandailing Natal, Sumatera Utara, menjadi salah satu sorotan utama karena mencatat sejumlah kejadian tragis. Pada Februari 2024, sebanyak 75 warga dilarikan ke rumah sakit akibat keracunan gas beracun hidrogen sulfida (H2S) dari uji coba pembukaan sumur. Insiden serupa sudah terjadi berulang kali sejak 2018.

Selain korban keracunan, enam warga dilaporkan meninggal dunia, sebagian akibat terjatuh ke area wellpad yang tidak memiliki pengamanan memadai. Investigasi independen mengungkapkan adanya pelanggaran terhadap hak lingkungan yang sehat serta lemahnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Lembaga swadaya masyarakat dan aktivis lingkungan mendesak agar pemerintah melakukan audit ketat terhadap izin operasional perusahaan pengelola proyek.

Kecelakaan Berulang di PLTP Dieng

PLTP di kawasan Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, juga menimbulkan kekhawatiran publik. Ledakan sumur pada tahun 2016 menelan korban jiwa dan membuat lahan pertanian warga tidak bisa digarap. Tragedi serupa terjadi pada 2007 dan 2022, ketika kebocoran gas H2S menyebabkan korban luka berat hingga meninggal dunia.

Akibat rentetan kejadian ini, warga sekitar mulai menolak keras proyek PLTP Unit 2 yang akan dibangun. Berbagai aksi penolakan dilakukan, mulai dari protes lapangan, pemasangan spanduk, hingga kampanye media sosial.

Dampak Operasi PLTP Sarulla terhadap Lingkungan dan Kesehatan

Operasi PLTP Sarulla di Tapanuli Utara membawa dampak signifikan terhadap kualitas hidup warga sekitar. Sejak beroperasi pada 2017, sejumlah lahan pertanian rusak, termasuk kebun kemenyan yang terkenal sebagai sumber penghasilan utama masyarakat.

Pada 2019, kebocoran gas kembali terjadi, menimbulkan korban jiwa dan meningkatkan kekhawatiran masyarakat terhadap paparan gas beracun. Jalur yang dilalui anak-anak ke sekolah menjadi area rawan paparan H2S. Penjelasan pemerintah yang menyebut kebocoran diakibatkan oleh gempa dan akan “tertutup secara alami” dinilai tidak logis oleh warga.

Penolakan dan Represi di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur

Masyarakat adat Poco Leok di Flores telah melakukan lebih dari 30 aksi damai menolak proyek panas bumi yang diklaim akan menghilangkan tanah adat mereka. Tanah ini bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga bagian dari identitas budaya dan spiritual.

Sayangnya, aksi damai tersebut justru dibalas dengan intimidasi dan tindakan represif. Pada Maret 2025, lima pemuda adat dilaporkan ke kepolisian oleh pemerintah daerah atas tuduhan merusak fasilitas umum, padahal insiden tersebut terjadi karena aparat mendorong massa aksi. Kejadian ini dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara kritis masyarakat.

Perlawanan di Padarincang dan Gunung Gede

Selama lebih dari 15 tahun, warga Padarincang di Banten konsisten menolak proyek PLTP yang dianggap mengancam keberlangsungan hidup mereka. Kaum perempuan memainkan peran penting dalam barisan perlawanan ini, dengan menegaskan bahwa mereka tidak anti pembangunan, namun menolak proyek yang merampas ruang hidup.

Sementara itu, warga di Gunung Gede, Cianjur, Jawa Barat, menghadapi tekanan setelah menolak proyek PLTP. Salah satu tokoh masyarakat setempat sempat dipanggil polisi dengan tuduhan menghasut, sebuah bentuk kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan yang menentang proyek tersebut.

Evaluasi Urgensi dan Keadilan Transisi Energi

Kisah-kisah ini mengungkapkan bahwa transisi energi tidak selalu memberikan manfaat yang merata. Ketika proyek geothermal tidak dirancang dengan pendekatan keadilan sosial dan partisipasi masyarakat, yang terjadi justru pengorbanan hak hidup dan ekologi warga lokal.

Transisi energi yang adil seharusnya mengedepankan prinsip transparansi, pelibatan komunitas, serta jaminan atas hak lingkungan yang sehat. Pemerintah perlu mereformasi tata kelola proyek energi panas bumi agar sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar mengejar target dekarbonisasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index