Bursa

Bursa Asia Diprediksi Menguat Didorong Reli Saham Teknologi AS dan Sentimen Perdagangan Global

Bursa Asia Diprediksi Menguat Didorong Reli Saham Teknologi AS dan Sentimen Perdagangan Global
Bursa Asia Diprediksi Menguat Didorong Reli Saham Teknologi AS dan Sentimen Perdagangan Global

JAKARTA - Bursa saham Asia diperkirakan akan memulai perdagangan Selasa (3/6) dengan penguatan signifikan menyusul reli saham teknologi besar di pasar Amerika Serikat (AS). Lonjakan ini memperkuat optimisme pelaku pasar di kawasan Asia, meskipun dinamika geopolitik dan perang dagang masih mewarnai sentimen investasi global.

Kontrak berjangka indeks saham utama di Tokyo, Hong Kong, dan Sydney menunjukkan potensi kenaikan yang cukup besar. Hal ini sejalan dengan kenaikan 0,4% pada indeks S&P 500 di bursa AS awal bulan ini, yang merupakan periode biasanya cukup tenang untuk pasar saham. Reli tersebut sebagian besar dipimpin oleh saham Nvidia Corp yang melonjak lebih dari 1,5% di sektor chipmaker, serta kenaikan harga saham baja dan aluminium yang terdorong oleh janji mantan Presiden Donald Trump untuk menggandakan tarif impor kedua logam tersebut.

Reli Saham Teknologi dan Dampaknya ke Pasar Asia

Saham teknologi kembali menjadi motor penggerak pasar saham AS yang kemudian berimbas positif ke bursa Asia. Nvidia, sebagai perusahaan pembuat chip terkemuka, mendapat perhatian besar karena produknya yang banyak digunakan di berbagai sektor teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan otomotif.

“Kami melihat optimisme kuat di sektor teknologi yang mendorong indeks utama AS naik. Kondisi ini memberikan sinyal positif bagi bursa Asia untuk mengikuti tren penguatan di sesi perdagangan hari ini,” kata Ulrike Hoffmann-Burchardi dari UBS Global Wealth Management.

Namun, penguatan saham teknologi ini juga diimbangi oleh penurunan harga obligasi pemerintah AS bertenor panjang. Imbal hasil obligasi 30 tahun dan lima tahun yang sempat melebar menunjukkan perubahan risiko pasar yang perlu diwaspadai oleh investor.

Sentimen Perang Dagang dan Ketegangan Geopolitik

Selain dinamika pasar modal, isu perang dagang antara AS dan China tetap menjadi perhatian utama pelaku pasar. Pemerintah AS memutuskan memperpanjang pengecualian tarif pasal 301 terhadap sejumlah produk asal China hingga 31 Agustus 2025. Keputusan ini diharapkan bisa meredakan ketegangan dan membuka ruang negosiasi lebih lanjut antara kedua negara.

“Kami masih memperkirakan volatilitas pasar akan berlanjut seiring investor mencermati berita tarif terbaru dan data ekonomi AS yang masuk. Kekhawatiran fiskal masih tinggi, ditambah dengan memanasnya ketegangan geopolitik,” ujar Hoffmann-Burchardi.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan China mengeluarkan kecaman keras atas klaim Presiden AS Donald Trump yang menuduh Beijing melanggar kesepakatan perdagangan yang telah disepakati di Jenewa bulan lalu. Ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa hubungan dagang kedua negara dapat semakin memburuk.

Di tengah suasana tegang, negosiator perdagangan utama Jepang, Ryosei Akazawa, diperkirakan akan kembali ke AS dalam waktu dekat untuk melanjutkan putaran negosiasi yang diharapkan mencapai kesepakatan bulan ini. Kesepakatan tersebut menjadi kunci stabilitas hubungan dagang kawasan Asia Pasifik.

Perkembangan Konflik Rusia-Ukraina dan Dampaknya

Selain perang dagang, perkembangan konflik Rusia dan Ukraina juga turut memengaruhi sentimen pasar global. Putaran kedua pembicaraan yang digelar di Istanbul belum menghasilkan terobosan berarti untuk mengakhiri perang, namun kedua pihak sepakat membuka jalan bagi pertukaran tahanan selanjutnya.

Kondisi ketidakpastian geopolitik ini semakin menambah tantangan bagi pasar keuangan global yang telah dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.

Pergerakan Harga Komoditas dan Kebijakan The Fed

Harga minyak dunia juga terus mengalami kenaikan pada pagi hari ini, seiring meningkatnya kekhawatiran atas pasokan global akibat konflik geopolitik. Sementara itu, harga emas tetap stabil setelah mencatatkan lonjakan terbesar dalam empat minggu terakhir, menunjukkan minat investor terhadap aset safe haven.

Di sisi kebijakan moneter, Gubernur Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, menyampaikan pidato terbuka namun tidak memberikan indikasi jelas mengenai arah kebijakan suku bunga ke depan. Pernyataan ini memperkuat spekulasi pasar mengenai ketidakpastian kebijakan moneter yang menjadi faktor risiko tambahan bagi investor.

Bursa saham Asia diprediksi menguat pada awal Juni 2025, didorong oleh reli saham teknologi AS dan sentimen positif dari perpanjangan pengecualian tarif dagang AS-China. Namun, ketegangan geopolitik dan perang dagang tetap menjadi risiko yang harus diwaspadai investor.

Investor disarankan untuk mencermati perkembangan terbaru, baik dari sisi ekonomi maupun politik, guna mengambil keputusan investasi yang tepat di tengah kondisi pasar yang penuh volatilitas.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index