JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tajam pada tarif listrik sebesar 26,99 persen pada April 2025, setelah berakhirnya program diskon tarif listrik 50 persen yang diberlakukan pada Januari dan Februari lalu. Kenaikan tarif listrik menjadi salah satu pemicu utama lonjakan inflasi bulanan Indonesia.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa penyesuaian tarif listrik pada pelanggan pascabayar menyebabkan lonjakan signifikan setelah sebelumnya diberi keringanan. Dampaknya terlihat jelas pada inflasi bulan April.
“Inflasi pada April 2025 ini utamanya disumbang oleh kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga dengan andil inflasi sebesar 0,98 persen,” ujar Pudji.
Secara rinci, tarif listrik sendiri memberi andil terhadap inflasi April sebesar 0,97 persen. Meski mengalami inflasi tahunan 26,99 persen, angka ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 47,22 persen pada Maret 2025.
Menurut Pudji, efek dari berakhirnya program diskon menyebabkan tagihan listrik kembali ke tarif normal, dan ini baru tercermin dalam pembayaran April. “Sehingga tagihan pada Maret 2025 dibayarkan pada April 2025 ini yang sudah kembali menggunakan tarif normal,” jelasnya.
Program diskon tarif listrik 50 persen sebelumnya diberikan kepada pelanggan tertentu, terutama rumah tangga kecil, sebagai bagian dari program stimulus pemerintah di awal tahun. Namun, begitu masa diskon usai, penyesuaian tarif langsung memberikan tekanan terhadap inflasi bulanan.
Data BPS menunjukkan inflasi Indonesia pada April 2025 secara bulanan atau month-to-month (mtm) sebesar 1,17 persen, menurun dari 1,65 persen pada Maret. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/yoy) mencapai 1,95 persen. Ini menandakan bahwa meski ada tekanan dari tarif listrik, secara umum inflasi masih dalam kendali.
Selain tarif listrik, komoditas lain yang turut menyumbang inflasi bulan April termasuk harga emas yang naik signifikan, serta komoditas pangan seperti bawang merah, cabai merah, kopi bubuk, minyak goreng, dan air dalam kemasan.
Kenaikan tarif listrik yang tajam ini memperkuat perlunya perhatian terhadap pengaruh kebijakan fiskal jangka pendek, terutama ketika insentif berakhir. Pemerintah diharapkan bisa mengantisipasi dampak lanjutan terhadap konsumsi masyarakat dan menjaga daya beli tetap stabil.