Unilever Indonesia: Antara Komitmen Lingkungan dan Tantangan Praktik Berkelanjutan

Rabu, 22 Oktober 2025 | 09:08:25 WIB
Unilever Indonesia: Antara Komitmen Lingkungan dan Tantangan Praktik Berkelanjutan

JAKARTA - Unilever Indonesia menjadi sorotan karena klaimnya dalam penerapan praktik bisnis ramah lingkungan. Namun, kritik muncul terkait sejauh mana komitmen perusahaan multinasional ini benar-benar mencerminkan keberlanjutan substantif atau sekadar strategi greenwashing.

Di Indonesia, Unilever menguasai lebih dari 45% pangsa pasar produk kebutuhan rumah tangga, sehingga setiap kebijakan lingkungan yang diambil memiliki dampak signifikan. Pendekatan mereka terhadap pembangunan berkelanjutan menjadi ujian nyata apakah perusahaan global mampu menyelaraskan pertumbuhan bisnis dengan tanggung jawab ekologis.

Inisiatif Keberlanjutan Unilever

Sejak 2010, Unilever meluncurkan program Unilever Sustainable Living Plan (USLP) untuk memisahkan pertumbuhan bisnis dari dampak lingkungan. Program ini menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 50% dan penggunaan energi terbarukan 100% di fasilitas produksinya pada 2030.

Di Indonesia, pabrik Unilever di Cikarang dan Rungkut dilaporkan telah menurunkan emisi CO₂ hingga 67% sejak 2010. Selain itu, Unilever berkolaborasi dengan KLHK melalui program “Less Plastic, Better Plastic, No Plastic” sejak 2019 untuk mengurangi timbulan sampah plastik pasca konsumsi.

Perusahaan mengklaim telah mengumpulkan dan mendaur ulang lebih dari 15.000 ton plastik pada 2023. Program ini dijalankan melalui kemitraan dengan lembaga daur ulang dan komunitas lokal di berbagai wilayah.

Kesenjangan Implementasi dan Tantangan Lapangan

Meski terlihat positif, efektivitas program ini masih terbatas. Indonesia menghasilkan sekitar 12 juta ton sampah plastik setiap tahun, namun hanya 10–12% yang berhasil didaur ulang, sebagian besar berasal dari industri FMCG.

Infrastruktur daur ulang yang belum merata membuat banyak limbah plastik tetap berakhir di TPA atau laut. Laporan Ocean Conservancy menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar kedua sampah plastik laut, di mana kemasan produk konsumen multinasional mendominasi.

Tantangan lain muncul dari rantai pasok minyak sawit. Unilever mengklaim 98% pasokan sawitnya bersertifikasi RSPO, namun beberapa pemasok masih terkait deforestasi di Kalimantan dan Sumatera. Kondisi ini menimbulkan kesenjangan antara kebijakan korporasi global dan praktik nyata di lapangan.

Peran Politik dan Tata Kelola Lingkungan

Hubungan antara Unilever dan pemerintah Indonesia bersifat simbiotik. Sebagai investor besar dan penyumbang pajak signifikan, perusahaan ini memiliki posisi strategis dalam memengaruhi perumusan kebijakan lingkungan.

Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 menetapkan target 30% pengurangan sampah plastik pada 2029. Regulasi ini bersifat voluntary dan lemah dalam penegakan, sehingga corporate lobbying menjadi relevan bagi perusahaan untuk memengaruhi arah kebijakan agar tetap menguntungkan industri.

Dalam konteks ini, Unilever berperan sebagai aktor politik non-negara yang mempengaruhi tata kelola lingkungan. Mereka memanfaatkan pengaruhnya untuk membentuk narasi solusi berbasis pasar, seperti ekonomi sirkular dan kemitraan publik-swasta, namun sering mengabaikan keadilan ekologis di tingkat lokal.

Retorika versus Transformasi Nyata

Perubahan sistemik tidak dapat bergantung hanya pada komitmen korporasi. Keberlanjutan sejati membutuhkan transparansi rantai pasok, pengawasan independen, dan partisipasi komunitas lokal.

Riset Pusat Kajian Kebijakan Lingkungan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa program daur ulang korporasi masih terpusat di kota besar, dengan dampak terbatas terhadap sektor informal seperti pemulung. Sektor ini justru berperan penting dalam sistem sirkular nasional.

Pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait extended producer responsibility (EPR) dan memberikan insentif bagi inovasi hijau. Sanksi tegas terhadap pelanggaran lingkungan juga penting diterapkan tanpa pandang bulu terhadap besarnya modal perusahaan.

Sementara itu, Unilever harus beralih dari sekadar corporate image ke corporate accountability. Hal ini meliputi keterbukaan data lingkungan, evaluasi independen, dan reformasi rantai pasok sawit yang transparan.

Unilever Indonesia mencerminkan paradoks kapitalisme berkelanjutan: antara tanggung jawab ekologis dan kepentingan ekspansi pasar. Perusahaan ini menjadi contoh sukses integrasi keberlanjutan dalam strategi bisnis, namun masih meninggalkan jejak ekologis signifikan.

Tantangan yang dihadapi bukan hanya memperbaiki citra hijau, tetapi memastikan kebijakan lingkungan dijalankan karena kesadaran moral dan regulasi yang berkeadilan. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi kunci agar narasi keberlanjutan tidak berhenti pada laporan korporasi, tetapi benar-benar dirasakan oleh bumi dan masyarakat.

Terkini