Kuliner Legendaris: Sate Klathak Pak Bari di Pasar Wonokromo

Kamis, 07 Agustus 2025 | 09:34:42 WIB
Kuliner Legendaris: Sate Klathak Pak Bari di Pasar Wonokromo

JAKARTA - Di tengah geliat kota Yogyakarta yang terus berkembang, sebuah warung sederhana di Pasar Wonokromo, Pleret, Bantul tetap bertahan dengan kesederhanaan dan cita rasa khasnya. Warung sate milik Pak Bari bukan hanya tempat makan, tapi juga representasi perjalanan panjang sebuah usaha kuliner yang dirintis sejak zaman sebelum reformasi.

Bermula dari sang kakek yang mulai berjualan sate kambing dengan bumbu sederhana, warung ini kini diteruskan oleh Pak Bari, generasi ketiga. Sejak 1992, ia mengambil alih usaha ini dari sang ayah yang sakit, dan terus melayani pelanggan hingga hari ini, didampingi kakak perempuannya sebagai kasir. Keunikan warungnya tak hanya soal rasa, tapi juga cerita di balik penamaan “sate klathak”.

Klathak: Dari Buah Mlinjo ke Jeruji Sepeda

Nama “klathak” sendiri awalnya merujuk pada buah mlinjo yang terjatuh dari pohon, tak dimanfaatkan, dan sering dipungut oleh anak-anak desa. Nama ini menjadi pengingat masa kecil Pak Bari yang sering “guris” (memungut) klathak bersama teman-temannya. Kini, nama itu melekat pada hidangan sate kambing unik yang hanya dibumbui garam dan ditusuk dengan jeruji sepeda, bukan bambu.

Ada tiga hal yang membedakan sate klathak Pak Bari dari sate kambing biasa: penggunaan jeruji sepeda sebagai tusuk sate yang menghantarkan panas lebih merata, bumbu yang hanya menggunakan garam tanpa kecap manis, serta penyajian dengan kuah gulai encer khas yang gurih berkaldu. Bukan hanya unik, cara penyajian ini justru menguatkan rasa asli dari daging kambing itu sendiri.

Lebih dari Sate: Sajian Lengkap untuk Penikmat Kambing

Menu di warung ini tak berhenti di sate klathak saja. Ada tongseng, gulai, kicik, sate goreng, hingga nasi goreng kambing yang tak kalah menggugah selera. Harga per porsi pun masih ramah di kantong, berkisar Rp25.000–Rp27.000, menjadikannya pilihan menarik bagi semua kalangan.

Bagi pengunjung yang tidak menyukai atau menghindari daging kambing, warung ini juga menyediakan menu lain seperti mie goreng, mie godog, magelangan, hingga nasi goreng tanpa daging kambing. Semua menu ini dapat dinikmati setelah aktivitas pasar selesai, tepatnya dari pukul 17.00 hingga tengah malam.

Bertahan Lewat Zaman, Tetap Setia pada Cita Rasa Asli

Warung sate Pak Bari bisa disebut sebagai legenda hidup kuliner Bantul. Ia telah melalui berbagai era: dari Orde Lama, Orde Baru, hingga era pasca-pandemi. Meski sempat mengalami penurunan penjualan akibat Covid-19, Pak Bari tetap bersyukur bisa menjalankan usahanya hingga sekarang. Dalam percakapan santai dengan beberapa pengunjung malam itu, ia menjelaskan bahwa sebelum pandemi, saat musim liburan, ia bisa menghabiskan 10 ekor kambing per hari. Kini, satu ekor saja sudah cukup untuk memenuhi permintaan.

“Menawi sakniki namung setunggal, mandap kathah sakbibare covid,” ucapnya saat ditanya berapa ekor kambing yang dihabiskan setiap hari. Ia pun menambahkan, “Alkamdulillah kulo sukuri tasih diparingi sehat ugi saged sadeyan dugi sakniki,” sambil menghisap rokok kreteknya.

Ngobrol, Ngiras, dan Nongki di Tengah Pasar

Pada malam itu, suasana warung terasa hangat. Beberapa pengunjung, termasuk tokoh-tokoh akademisi dan aktivis, menikmati malam dengan mengobrol dan mencicipi berbagai menu warung. Hampir semua menu dipesan, bahkan sebagian dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Ngiras (makan bersama), ngobrol, dan nongkrong hingga dini hari menjadi bagian dari kenikmatan berkunjung ke warung ini. Di saat warung mulai bersiap tutup, kehangatan tidak hanya datang dari makanan, tetapi juga dari interaksi antara pemilik warung dan para pelanggan.

Usaha Kecil, Manfaat Besar

Kisah Pak Bari adalah refleksi bagaimana usaha mikro bisa menjadi besar dalam makna, jika dijalankan dengan ketulusan dan konsistensi. Ia tidak pernah berniat mematenkan nama “sate klathak” meskipun kini telah menjadi identitas kuliner yang kuat. Warungnya menjadi inspirasi bagi banyak pelaku UMKM lain yang mencoba merintis usaha serupa.

Pak Bari mencontohkan laku bisnis yang tidak serakah, dan tetap menempatkan nilai sosial dan religius dalam praktiknya. Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar warung sate, tapi simbol ketekunan, keikhlasan, dan keberkahan dalam usaha.

Gerimis malam itu menjadi saksi perjalanan pulang para pengunjung yang membawa pulang lebih dari sekadar rasa kenyang. Mereka membawa kisah, semangat, dan inspirasi dari sebuah warung kecil yang memberi manfaat besar. Sate klathak Pak Bari adalah warisan rasa dan cerita yang terus hidup, menembus batas zaman.

Terkini

BPJS Ketenagakerjaan Buka Rekrutmen Pegawai Baru 2025

Kamis, 11 September 2025 | 16:33:09 WIB

KUR BNI 2025 Solusi Pendanaan Ringan untuk UMKM

Kamis, 11 September 2025 | 16:33:08 WIB

KUR BRI 2025 Menjadi Solusi Modal Usaha Ringan UMKM

Kamis, 11 September 2025 | 16:33:07 WIB

KUR BSI 2025 Solusi Modal Syariah untuk UMKM Indonesia

Kamis, 11 September 2025 | 16:33:06 WIB

Skema Cicilan KUR BCA 2025 Pinjaman Rp100 Juta

Kamis, 11 September 2025 | 16:33:05 WIB