JAKARTA - Meski realisasi investasi nasional sepanjang semester I-2025 mendekati Rp1.000 triliun, jumlah lapangan kerja yang tercipta ternyata belum terlalu signifikan. Data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM menunjukkan, investasi Rp942,9 triliun tersebut hanya mampu menyerap 1.259.868 tenaga kerja di seluruh Indonesia.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani menekankan, angka ini sudah sesuai dengan rencana pemerintah, namun tetap perlu dicermati dari sisi kualitas serapan tenaga kerja.
"Yang paling penting yang ingin saya highlight adalah penyerapan tenaga kerjanya, tepatnya 1.259.868 orang. Ini adalah tenaga kerja yang tercipta dari 6 bulan pertama di 2025," ujar Rosan di Jakarta.
Dominasi Investasi Padat Modal
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai penyerapan tenaga kerja dari investasi tersebut tergolong moderat. Penyebabnya, sebagian besar dana mengalir ke sektor padat modal, bukan padat karya.
Menurut Ronny, sektor padat modal seperti hilirisasi tambang, energi, dan investasi portofolio tidak membutuhkan banyak tenaga kerja langsung. “Investasi di Indonesia itu rata-rata padat modal. Nggak semuanya masuk ke sektor padat karya. Sementara sektor manufaktur kita saat ini juga lagi negatif, jadi opportunity investasi di sana kurang menarik,” ujarnya.
Fenomena ini, lanjutnya, bersifat struktural. Artinya, besarnya nilai investasi tidak otomatis diikuti lonjakan lapangan kerja karena penggunaan teknologi dan mesin lebih dominan dibanding tenaga manusia.
Ronny menilai kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah agar arah investasi bisa seimbang antara padat modal dan padat karya. “Tenaga kerja kita itu tidak hanya lulusan SMP atau SMA. Banyak juga lulusan S1 dan S2 yang membutuhkan pekerjaan yang sesuai. Jadi kita butuh keseimbangan antara padat modal dan padat karya,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya strategi pemerintah dalam menentukan prioritas investasi. Jika tujuan utamanya menciptakan lapangan kerja massal, maka sektor padat karya harus lebih diprioritaskan daripada sekadar mengikuti arus pasar.
“Kalau memang sektor padat karya jadi prioritas, apakah pemerintah sudah melakukan langkah nyata ke sana? Atau masih sebatas rutinitas biasa?,” kata Ronny.
Perubahan Struktur Ekonomi dan Tantangan Tenaga Kerja
Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebut fenomena ini sebagai cerminan pergeseran struktur ekonomi nasional. Menurutnya, porsi investasi lebih banyak mengalir ke sektor-sektor padat modal yang penting untuk pertumbuhan jangka panjang, namun daya serap tenaga kerjanya relatif rendah.
“Sektor-sektor ini penting untuk menopang pertumbuhan jangka panjang, tetapi dalam konteks penciptaan lapangan kerja, daya serapnya relatif rendah dibanding sektor padat karya,” ujarnya.
Yusuf menjelaskan, secara teori meningkatnya investasi memang seharusnya mendorong penciptaan lapangan kerja. Namun, dalam praktiknya, investasi di sektor padat modal lebih mengandalkan mesin dan teknologi.
Ia menambahkan, tidak ada formula baku yang mengukur hubungan langsung antara nilai investasi dan jumlah tenaga kerja yang tercipta. Penyerapan kerja sangat bergantung pada karakteristik sektor, tingkat teknologi, serta arah pembangunan nasional.
Sebagai pembanding, ia mencontohkan Vietnam yang berhasil menarik investasi asing langsung (FDI) ke sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik. Negara tersebut mampu menyerap hampir 5 juta pekerja dan kontribusi FDI mencapai sekitar 20 persen dari PDB.
Namun, keberhasilan itu memiliki konsekuensi berupa upah rendah, beban kerja berat, dan keterbatasan tenaga kerja terampil, sehingga peningkatan kualitas pekerjaan tetap menjadi tantangan.
“Jika Indonesia ingin menghidupkan kembali sektor padat karya, kuncinya bukan hanya soal menarik investasi, tapi juga meningkatkan skala usaha agar lebih efisien dan mampu menaikkan upah pekerja secara bertahap,” tutur Yusuf.
Di tengah realisasi investasi yang tinggi, pemerintah dihadapkan pada tantangan menyeimbangkan strategi antara pertumbuhan jangka panjang melalui padat modal dan kebutuhan jangka pendek berupa penciptaan lapangan kerja masif. Dengan demikian, investasi besar di masa mendatang diharapkan tidak hanya menambah nilai ekonomi, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan tenaga kerja di Indonesia.