JAKARTA - Banyak orang mungkin pernah merasakan bahwa hubungan emosional dengan keluarga dari pihak ibu terasa lebih dalam. Mulai dari rasa nyaman saat menginap di rumah nenek, hingga keakraban dalam obrolan dengan tante dari garis ibu. Ternyata, hal ini bukan cuma pengalaman pribadi, melainkan fenomena yang ditopang oleh bukti ilmiah.
Tanpa disadari, sebagian besar individu tumbuh dengan membentuk ikatan kuat bersama keluarga ibu. Sementara itu, relasi dengan keluarga dari pihak ayah kerap terasa lebih formal, kaku, atau bahkan jauh secara emosional.
Fenomena ini telah menjadi perhatian para sosiolog dan psikolog, yang menyebutnya sebagai keunggulan matrilineal sebuah kecenderungan manusia untuk lebih dekat dengan kerabat dari pihak ibu. Temuan ini tidak terbatas pada satu wilayah atau budaya, melainkan terjadi secara luas lintas generasi dan negara.
Matrilineal: Penjaga Ikatan Sosial dan Emosional
Sosiolog Sonia Salari, yang rutin mengajukan pertanyaan reflektif di kelasnya, mendapati bahwa sebagian besar mahasiswa akan menjawab nenek dari pihak ibu sebagai kerabat yang paling dekat secara emosional. Jumlah tangan yang terangkat akan semakin sedikit saat ia menanyakan soal kakek dari pihak ayah.
Jawaban ini mencerminkan pola sosial yang berulang dan bertahan dalam banyak keluarga. Anak-anak, berdasarkan berbagai survei, memang lebih nyaman berada di sekitar keluarga ibu terutama nenek. Bahkan dalam simulasi ekstrem, seperti skenario menyelamatkan anggota keluarga dari bahaya, mereka lebih cenderung memilih kerabat dari jalur ibu.
Mengapa ini terjadi? Salah satu penjelasan paling kuat adalah peran perempuan dalam menjaga relasi. Ibu dan nenek dari pihak ibu umumnya menjadi pengatur komunikasi keluarga: mereka mengingat ulang tahun, mengatur acara kumpul keluarga, hingga memastikan semua berjalan harmonis.
Penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa 91 persen penjaga relasi kekeluargaan adalah perempuan. Mereka memainkan peran penting yang tidak selalu terlihat, namun menentukan dalam menjaga kohesi keluarga.
Sementara itu, penelitian tahun 2010 pada keluarga lintas generasi menemukan bahwa setelah ibu, nenek dari pihak ibu adalah sosok yang paling aktif menjaga komunikasi. Tokoh-tokoh ini menjadi jembatan emosional dalam kehidupan anak-anak.
Ibu, Sosok Emosional yang Lebih Dekat dan Diterima Anak
Lebih jauh lagi, hubungan emosional anak dengan ibu juga terbukti lebih kuat dibandingkan dengan ayah. Hal ini tidak hanya ditentukan oleh durasi kebersamaan, tapi oleh kualitas interaksi yang terjalin setiap hari.
Anak-anak umumnya memandang ibu sebagai sosok yang hangat, mendengarkan, dan responsif. Dalam banyak keluarga, ibu menjadi tempat aman untuk bercerita dan berbagi perasaan.
Sebaliknya, sosok ayah sering kali terasa lebih jauh secara emosional. Meski hadir secara fisik di rumah, tidak semua ayah terlibat secara aktif dalam kehidupan emosional anak. Beberapa anak bahkan menyebut bahwa kehadiran ayah tidak berarti keterlibatan, karena lebih banyak waktu digunakan untuk beristirahat atau menghabiskan waktu sendiri.
Ketika menghadapi masalah, mayoritas anak memilih ibu atau teman sebaya sebagai tempat bercerita. Ayah jarang menjadi pilihan utama, karena dianggap tidak memahami atau terlalu cepat menghakimi.
Ini bukan berarti bahwa semua ayah tidak dekat dengan anak. Namun secara umum, ada pola keterlibatan emosional yang berbeda. Faktor budaya, peran gender, dan pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga turut membentuk pola ini.
Kesadaran Baru untuk Pola Asuh Lebih Seimbang
Memahami kecenderungan ini tidak berarti memperkuat jarak antara anak dan ayah. Justru, fakta ini bisa menjadi titik tolak untuk menciptakan keterlibatan yang lebih seimbang antara kedua orangtua.
Dengan mengakui bahwa ibu selama ini memainkan peran emosional yang besar, ayah pun bisa belajar untuk lebih hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam komunikasi dan empati.
Dalam konteks keluarga modern, tantangan seperti fatherless atau ketidakhadiran emosional ayah semakin sering disorot. Teknologi dan kesadaran peran bisa menjadi jembatan untuk memperbaiki relasi ini.
Anak-anak tidak hanya butuh pengasuhan, tetapi juga kelekatan emosional dari kedua orangtuanya. Perubahan bisa dimulai dari rumah, dengan kesadaran dan keterlibatan aktif dari semua pihak.