JAKARTA - Pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 mulai 14 Juli 2025, yang mengatur mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Regulasi ini mewajibkan platform e-commerce bertindak sebagai pemungut, penyetor, dan pelapor PPh dari pedagang dalam negeri yang berjualan secara daring.
Meski peraturan ini bertujuan memperkuat penerimaan negara dan meningkatkan kepatuhan pajak, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyoroti potensi dampak negatif terhadap aktivitas usaha mereka, terutama dari sisi harga dan permintaan konsumen.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menyatakan bahwa ada kesan pemerintah terburu-buru dalam menerbitkan aturan ini. Ia memahami perlunya pendapatan negara, namun menilai bahwa penerapannya saat ini berpotensi melemahkan posisi UMKM yang sedang berupaya bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Saya sangat memahami bahwa negara ini membutuhkan tambahan anggaran untuk operasional yang berkelanjutan. Pemerintah melihat adanya peluang untuk memperoleh pemasukan tambahan melalui transaksi yang terjadi di e-commerce,” ujar Edy.
Menurutnya, beban pemungutan seharusnya tidak dibebankan langsung kepada para pelaku UMKM, melainkan ditanggung oleh pihak platform e-commerce yang memiliki posisi tawar lebih kuat. Ia juga menyampaikan bahwa usulan terkait pungutan tarif ini sebelumnya telah diajukan ke pemerintah.
“Namun, para penyelenggara (aplikator) memiliki posisi yang lebih kuat dibanding kami pelaku UMKM,” tambahnya.
Pemerintah Diminta Lakukan Transisi dan Edukasi Bertahap
Meski pada prinsipnya menerima aturan tersebut, Edy menekankan perlunya kehati-hatian dalam implementasinya. Ia menyebut bahwa pengenaan pajak di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil bisa mendorong naiknya harga produk UMKM.
Kenaikan harga ini, menurutnya, akan berdampak pada penurunan minat belanja konsumen. Jika hal ini terjadi, maka UMKM akan menghadapi penurunan daya saing di pasar digital.
“Imbasnya ekonomi kita semakin prihatin karena transaksi jual beli yang menurun,” ujar Edy.
Ia menegaskan bahwa pelaku UMKM bukan pihak yang menolak mendukung negara, namun berharap kebijakan ini dijalankan dengan pembagian beban yang lebih adil dan proporsional.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menjelaskan bahwa PMK 37/2025 sejatinya tidak menambah beban pajak baru, melainkan mengalihkan mekanisme pemungutan dari pedagang ke platform digital atau marketplace.
Namun ia mengakui bahwa secara teknis, pelaksanaan aturan ini memerlukan kesiapan sistem serta edukasi yang menyeluruh kepada para pelaku UMKM, terutama yang belum akrab dengan sistem perpajakan berbasis digital.
“Marketplace memang tidak diwajibkan memverifikasi surat pernyataan omzet dari penjual, namun harus menyediakan sistem yang memungkinkan seller mengunggah dokumen tersebut dan menyampaikannya kepada sistem DJP. Surat tersebut wajib dicetak, ditandatangani, dan bermaterai. Ini memerlukan kesiapan sistem, edukasi, dan komunikasi yang baik kepada para penjual,” ujar Budi.
Masa Transisi Dinilai Krusial
IdEA menilai perlunya masa transisi yang memadai agar implementasi PMK 37/2025 tidak menimbulkan kebingungan di lapangan. Sosialisasi terhadap para pedagang online, khususnya pelaku UMKM, menjadi kunci agar mereka memahami hak dan kewajiban perpajakannya.
“Setidaknya ada rentang waktu setidaknya 1 tahun untuk merealisasikan hal tersebut,” imbuh Budi.
Langkah ini dinilai penting agar platform e-commerce dapat menyesuaikan sistem mereka, sementara UMKM memiliki waktu untuk menyesuaikan proses bisnis dan tata kelola administrasi yang baru.
Harapan dari Lapangan
Pelaku UMKM dan platform e-commerce pada dasarnya memahami urgensi pemerintah untuk memperkuat penerimaan pajak, termasuk dari sektor digital yang terus tumbuh. Namun, mereka berharap implementasi PMK 37/2025 dilakukan dengan penuh pertimbangan terhadap dampak lapangan.
Edy Misero menyatakan harapannya agar pemerintah tidak hanya fokus pada penambahan pendapatan, tetapi juga mempertimbangkan kondisi pelaku usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
“Jika pemerintah membutuhkan dukungan, seharusnya beban tersebut tidak hanya ditanggungkan kepada pelaku UMKM, melainkan dipikul secara bersama-sama,” pungkasnya.