JAKARTA - Industri otomotif nasional tengah berada di persimpangan penting dalam menghadapi tantangan global sekaligus memanfaatkan peluang pasar yang besar. Di tengah dinamika tersebut, pemerintah memilih insentif sebagai strategi utama untuk menggerakkan roda industri kendaraan bermotor dalam negeri. Insentif ini bukan hanya sebagai keringanan biaya, melainkan sebuah langkah strategis yang memiliki dampak luas terhadap daya saing, produksi, dan ekspor otomotif Indonesia.
Insentif sebagai Stimulus Pertumbuhan Industri
Pemberian insentif fiskal maupun nonfiskal terbukti menjadi “jurus jitu” yang mampu menjaga industri otomotif tetap kompetitif. Pemerintah mencatat, dukungan berupa potongan pajak dan keringanan bea masuk mampu memacu peningkatan produksi, memperluas pasar domestik, serta membuka peluang ekspor kendaraan, khususnya roda empat.
Industri otomotif juga merupakan sektor strategis dengan kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, keberadaannya menggerakkan industri pendukung seperti baja, plastik, kimia, dan komponen elektronik. Investasi sektor ini telah mencapai Rp174,31 triliun dengan penyerapan tenaga kerja langsung hampir 100 ribu orang.
Pada 2024, manufaktur mobil mencatat produksi 1,19 juta unit, penjualan 865 ribu unit, dan ekspor 472 ribu unit. Data triwulan I 2025 menunjukkan kinerja yang stabil dengan produksi 288 ribu unit dan penjualan 205 ribu unit.
Dampak Positif dan Tantangan Insentif
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperlihatkan bahwa penjualan dan produksi kendaraan di Indonesia sempat turun pasca pandemi COVID-19, namun kembali bangkit berkat insentif seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
Kebijakan PPnBM yang diberikan sejak Maret 2021 mampu meningkatkan penjualan hingga 72,6 persen dalam sebulan, hampir menyamai angka pra-pandemi. Lebih jauh, insentif tersebut tidak hanya mengangkat industri otomotif, tapi juga memberi multiplier effect bagi penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap PDB nasional.
Namun, pelaku industri menilai insentif yang saat ini paling menonjol, seperti potongan PPnBM bagi mobil listrik, masih perlu diperluas cakupannya. Kendaraan bermesin konvensional hemat energi dan kendaraan niaga juga perlu mendapat dukungan agar dapat bersaing di pasar domestik dan global, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dunia.
Menurut Gaikindo, mobil di bawah harga Rp400 juta seharusnya tidak dikenakan PPnBM karena banyak dipakai sebagai alat kerja yang menopang penghidupan masyarakat.
Konsistensi Kebijakan untuk Masa Depan Industri
Insentif memang terbukti efektif mendorong kebangkitan industri otomotif nasional, tetapi keberhasilannya sangat tergantung pada konsistensi kebijakan dan evaluasi berkala. Pemerintah diharapkan menyesuaikan dukungan dengan kondisi nyata pasar dan kebutuhan industri, sehingga insentif tidak hanya menjadi subsidi sesaat yang tidak berkelanjutan.
Indonesia memiliki potensi besar menjadi pemain utama otomotif di Asia. Namun, pencapaian ini bergantung pada strategi insentif yang inklusif, menyentuh semua segmen, dari kendaraan listrik, hybrid, hingga mesin konvensional. Ekosistem industri otomotif yang kuat juga perlu memperhatikan peran usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai pemasok suku cadang.
Risiko ketimpangan pertumbuhan antar segmen dapat muncul jika insentif hanya difokuskan pada sebagian kecil industri. Padahal keberlangsungan industri otomotif nasional harus didukung oleh semua jenis kendaraan untuk menciptakan ekosistem yang berkelanjutan dan kompetitif.
Dengan dukungan insentif yang tepat sasaran dan pelaksanaan kebijakan yang konsisten, industri otomotif Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Ini bukan hanya soal menggenjot produksi dan penjualan, tetapi juga membangun fondasi masa depan industri yang tangguh dan inovatif.