Nikel Indonesia Besar, Tapi Manufaktur Baterai Belum Berdaya

Rabu, 02 Juli 2025 | 11:57:20 WIB
Nikel Indonesia Besar, Tapi Manufaktur Baterai Belum Berdaya

JAKARTA - Indonesia dikenal memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, sumber daya strategis yang menjadi bahan utama pembuatan baterai kendaraan listrik (EV). Namun, potensi besar tersebut belum sepenuhnya berbuah manis bagi Indonesia dalam bentuk industri baterai yang kuat dan mandiri. Kendati sudah ada upaya hilirisasi, negara ini masih kalah jauh dari negara lain dalam hal penguasaan manufaktur baterai.

Pendiri National Battery Research Institute (NBRI), Evvy Kartini, menegaskan bahwa nikel saja tidak cukup untuk menjadikan Indonesia raja baterai dunia. “Sorry to say, kalau cuma nikel saja, gak cukup,” ujarnya.

Hilirisasi Nikel: Langkah Awal yang Belum Maksimal

Pemerintah Indonesia sejak era Presiden Joko Widodo telah melarang ekspor nikel mentah dan mendorong pembangunan smelter untuk menambah nilai bahan mentah tersebut. Langkah ini berhasil meningkatkan nilai tambah nikel hingga 10 kali lipat.

Namun, Evvy menekankan bahwa proses smelter baru tahap awal dari hilirisasi. “Kalau hanya sampai smelter, lalu diekspor, kita hanya dapat nilai tambah 10 kali. Tapi kalau nikel diproses sampai jadi baterai di Indonesia, nilainya bisa 150 kali. Kalau sampai jadi mobil listrik (EV), nilainya naik 350 kali,” jelasnya.

Ironisnya, Indonesia belum sepenuhnya menikmati nilai tambah tersebut karena manufaktur baterai terbesar di Tanah Air masih dikuasai investor asing. Contohnya adalah pabrik baterai Hyundai-LG Energy Solution, konsorsium Korea yang memegang kapasitas 10 GWh dan seluruh produknya diekspor ke luar negeri.

Selain itu, keberadaan pabrik baterai lokal masih minim dan jarang terdengar. “Ada yang kecil, pabrik pribadi, tapi gak dipromosikan. Padahal itu punya orang Indonesia,” ungkap Evvy.

Tantangan Standarisasi dan Keamanan Baterai dalam Negeri

Selain pengembangan manufaktur, masalah lain yang menghambat pertumbuhan industri baterai nasional adalah lemahnya standarisasi. Studi terbaru menemukan adanya 52 merek baterai motor listrik dengan berbagai ukuran dan sistem yang berbeda-beda.

“Seharusnya ada standar seperti ATM bersama. Kalau sekarang, satu motor satu sistem. Egois. Ini bikin orang malas pindah ke kendaraan listrik,” papar Evvy.

Lebih jauh, isu keselamatan baterai juga belum menjadi perhatian serius. Regulasi tentang keamanan baterai memang sudah ada sejak 2019, tetapi sifatnya tidak wajib. Akibatnya, produsen baterai sering mengabaikan faktor keselamatan. Padahal, baterai yang mengalami overcharging atau korsleting dapat berpotensi meledak dan membahayakan pengguna.

Potensi Besar Butuh Sinergi Kuat

Meski punya cadangan nikel segunung, Indonesia perlu mengembangkan ekosistem baterai yang mandiri dan berstandar. Hilirisasi yang terintegrasi mulai dari bahan baku hingga produk jadi kendaraan listrik harus didorong agar nilai tambah yang luar biasa bisa dinikmati dalam negeri. Regulasi yang ketat dan promosi industri lokal juga menjadi kunci agar Indonesia tidak sekadar menjadi pemasok bahan mentah, tapi juga penguasa rantai nilai baterai global.

Terkini

Harga HP Infinix Terbaru September 2025 Semua Seri

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:14 WIB

POCO C85 Resmi Masuk Indonesia, Baterai Besar 6000mAh

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:12 WIB

Ramalan Shio 11 September 2025: Energi Positif Tiap Shio

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:11 WIB

Harga Sembako Jatim Hari Ini: Cabai dan Bawang Naik

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:10 WIB

Cek Penerima Bansos PKH BPNT 2025 Mudah Cepat

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:09 WIB