Cadangan Nikel Indonesia Tersisa 13 Tahun, ESDM Diminta Percepat Eksplorasi

Senin, 30 Juni 2025 | 09:11:45 WIB
Cadangan Nikel Indonesia Tersisa 13 Tahun, ESDM Diminta Percepat Eksplorasi

JAKARTA - Cadangan nikel Indonesia diprediksi hanya mampu bertahan antara 9 hingga 13 tahun ke depan jika tidak ada percepatan eksplorasi. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, yang menilai ketahanan pasokan nikel nasional semakin menipis seiring pesatnya pembangunan smelter nikel dalam negeri.

“Cadangan kita kalau dihitung, beberapa ahli menyatakan antara 9—13 tahun daya tahannya. Itu bukan waktu yang lama. Kita belum apa-apa sudah pensiun. Habis sudah. Apalagi pembangunan smelter banyak sekali, lebih dari 100 unit,” ujar Rizal.

Peningkatan investasi smelter pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) yang agresif menyebabkan lonjakan permintaan nikel berkadar tinggi, terutama saprolit dengan kadar di atas 1,5 persen yang menjadi bahan baku utama baja tahan karat. Sementara itu, cadangan saprolit di Indonesia terus menipis karena eksplorasi di wilayah greenfield dan frontier belum berjalan optimal.

Cadangan Nikel Masih Besar, Namun Eksplorasi Terlambat

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 2024, total cadangan bijih nikel nasional mencapai 5,32 miliar ton dengan cadangan logam nikel 56,11 juta ton. Provinsi Maluku Utara menjadi wilayah dengan cadangan terbesar, terdiri dari 60 persen saprolit dan 40 persen limonit. Sedangkan total sumber daya bijih nikel nasional mencapai 18,55 miliar ton dengan kandungan logam nikel 184,6 juta ton.

Meski potensi ini besar, Rizal menegaskan bahwa lambatnya proses eksplorasi membuat cadangan semakin tergerus. “Pemerintah harus mempercepat eksplorasi di daerah frontier seperti Sulawesi, Halmahera, Maluku, dan Papua. Eksplorasi itu butuh waktu yang lama, bisa sampai delapan tahun,” katanya.

Hambatan Perizinan Jadi Kendala Utama

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, mengungkapkan bahwa persoalan perizinan menjadi penghambat terbesar eksplorasi nikel di daerah penghasil utama seperti Papua, Sulawesi, dan Maluku Utara. “Banyak area nikel berpotensi tinggi belum bisa digarap karena izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) masih terganjal,” ungkap Meidy.

Dia menambahkan, jika pemerintah tidak memperbaiki iklim perizinan, peluang menambah cadangan lewat eksplorasi akan makin kecil. Kondisi ini berpotensi mempercepat ketergantungan Indonesia pada impor bijih nikel di tengah kebutuhan smelter domestik yang terus meningkat.

Moratorium Pembangunan Smelter RKEF Jadi Pilihan Sulit

Sementara itu, Rizal mengungkapkan bahwa kalangan ahli sempat merekomendasikan moratorium pembangunan smelter RKEF baru untuk menahan penurunan cadangan nikel kadar tinggi. Namun, kebijakan tersebut sulit diterapkan karena daerah penghasil nikel masih mengandalkan industri pertambangan sebagai sumber utama ekonomi.

“Perusahaan besar seperti Vale dan Antam bisa bertahan karena memiliki area luas. Tapi perusahaan kecil dan smelter yang tidak terintegrasi tambangnya akan sangat riskan,” jelas Rizal.

Ketergantungan Impor Nikel Meningkat

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mulai mengimpor bijih nikel. Pada Februari 2025, volume impor bijih nikel dan konsentrat dari Filipina mencapai 2,38 juta ton, meningkat dibanding Januari yang sebesar 2,07 juta ton. APNI memastikan impor bijih nikel dari Filipina akan berlanjut dan bertambah dengan kontrak baru dari Solomon dan New Caledonia mulai Juni 2025.

“Sejak tahun lalu kita sudah impor bijih nikel dari Filipina. Mulai Juni, akan masuk dari Solomon dan New Caledonia,” kata Meidy. Meski volume dan nilai transaksi belum diumumkan, perusahaan telah menandatangani kontrak impor tersebut.

Indonesia Produsen Utama, Namun Rawan Krisis Pasokan

Menurut proyeksi International Energy Agency (IEA), pada 2030 Indonesia akan menguasai 62 persen produksi nikel dunia dari sektor tambang, disusul Filipina (8 persen) dan New Caledonia (6 persen). Namun di sektor smelter, Indonesia hanya menguasai 44 persen, sementara China dan Jepang masing-masing 21 persen dan 6 persen.

Data ini menunjukkan posisi dominan Indonesia sebagai produsen nikel, namun rapuh dari sisi daya tahan pasokan jika eksplorasi tidak segera dipercepat.

Meidy menegaskan, pemerintah harus mengambil sikap tegas dalam memperbaiki perizinan agar penambang berizin usaha pertambangan (IUP) dapat melakukan eksplorasi. “Jangan sampai persetujuan RKAB sudah ada, tapi izin IPPKH tidak keluar karena kuota habis, sedangkan smelter sudah butuh bahan baku,” tegasnya.

Risiko Melemahnya Hilirisasi Nikel Nasional

Jika kondisi ini berlanjut, program hilirisasi nikel yang diusung pemerintah berisiko melemah. Indonesia berpotensi menjadi negara yang hanya memiliki pabrik smelter tanpa kendali pasokan bahan baku utama. Hal ini bertentangan dengan tujuan hilirisasi untuk mengoptimalkan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri.

Rizal mengingatkan pemerintah agar tidak terlena dengan geliat pembangunan smelter tanpa memperhatikan ketersediaan cadangan. “Kalau smelter terus dibangun tanpa perhitungan cadangan, kita akan cepat habis. Akhirnya, impor tak terhindarkan,” pungkasnya.

Dengan kondisi cadangan nikel yang kian menipis dan hambatan eksplorasi yang belum teratasi, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam menjaga kedaulatan pasokan nikel nasional. Upaya percepatan eksplorasi dan perbaikan regulasi menjadi kunci agar industri nikel nasional dapat tumbuh berkelanjutan dan mandiri.

Terkini

Harga HP Infinix Terbaru September 2025 Semua Seri

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:14 WIB

POCO C85 Resmi Masuk Indonesia, Baterai Besar 6000mAh

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:12 WIB

Ramalan Shio 11 September 2025: Energi Positif Tiap Shio

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:11 WIB

Harga Sembako Jatim Hari Ini: Cabai dan Bawang Naik

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:10 WIB

Cek Penerima Bansos PKH BPNT 2025 Mudah Cepat

Rabu, 10 September 2025 | 16:22:09 WIB