Greenpeace dan Celios: Pembangkit Gas Fosil Hambat Transisi Energi, Beban Ekonomi dan Kesehatan Meningkat

Senin, 05 Mei 2025 | 08:07:26 WIB
Greenpeace dan Celios: Pembangkit Gas Fosil Hambat Transisi Energi, Beban Ekonomi dan Kesehatan Meningkat

JAKARTA – Rencana pemerintah Indonesia menjadikan gas fosil sebagai bagian dari skema transisi energi dinilai sebagai langkah mundur dalam upaya mencapai target net zero emission pada 2050. Greenpeace Indonesia dan Centre of Economic and Law Studies (Celios) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan ini dalam laporan terbaru yang dirilis pada 24 April 2025.

Dalam laporan tersebut, kedua lembaga menyoroti bahaya menjadikan pembangkit listrik tenaga gas fosil sebagai solusi transisi. Mereka menilai pendekatan ini tidak hanya menghambat percepatan transisi energi, tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian, lingkungan, kesehatan masyarakat, serta serapan tenaga kerja.

Dampak Ekonomi dan Kesehatan yang Besar

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa pengembangan pembangkit gas fosil secara akumulatif akan menurunkan output ekonomi Indonesia hingga Rp941,4 triliun pada tahun 2040. Pembangkit listrik tenaga gas siklus gabungan juga diperkirakan menyumbang penurunan output hingga Rp280,9 triliun.

“Dari sisi ekonomi angkanya sangat signifikan. Ini bukan langkah efisien untuk masa depan energi Indonesia,” kata Bhima.

Lebih lanjut, Bhima juga memperingatkan bahwa pembangkit turbin gas berisiko menghilangkan peluang kerja bagi sekitar 6,7 juta orang. Sektor-sektor yang akan terdampak mencakup kelautan dan perikanan, dua bidang yang sangat bergantung pada kualitas lingkungan.

“Dampak kesehatan yang ditimbulkan dari pembangkit gas fosil dengan skenario 22 GW memberikan beban hingga Rp89,8-Rp249,8 triliun dalam 15 tahun ke depan,” ujar Bhima.

Lonjakan Emisi dan Ancaman Lingkungan

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyampaikan bahwa rencana ekspansi pembangkit gas fosil akan memicu lonjakan emisi yang signifikan. Berdasarkan proyeksi Greenpeace, pembangkit gas fosil berkapasitas 22 GW dapat meningkatkan emisi karbon dioksida (CO₂) hingga 49,02 juta ton per tahun, serta emisi metana (CH₄) mencapai 43.768 ton per tahun.

“Dari sisi dampak kesehatan, pembangkit gas fosil dengan skenario 22 GW memberikan beban biaya kesehatan hingga Rp89,8-Rp249,8 triliun dalam 15 tahun ke depan,” ujar Leonard.

Menurutnya, solusi yang ditawarkan pemerintah, seperti penggunaan teknologi Carbon Capture Storage (CCS/CCUS), bioenergi berbasis kelapa sawit, serta pengembangan gas dan nuklir, adalah solusi palsu yang hanya memperpanjang ketergantungan Indonesia pada energi fosil.

Energi Terbarukan Sebagai Alternatif

Laporan Greenpeace dan Celios menyarankan agar pemerintah lebih serius mengembangkan energi terbarukan. Jika Indonesia berfokus pada energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, maka transisi ini berpotensi memberikan kontribusi ekonomi sebesar Rp2.627 triliun pada tahun 2040. Selain itu, pembangkit energi terbarukan skala komunitas diperkirakan mampu menyerap hingga 20 juta tenaga kerja pada tahun yang sama.

“Jika Indonesia fokus pada pengembangan energi terbarukan, energi ini berkontribusi positif terhadap perekonomian sebesar Rp2.627 triliun pada 2040,” kata Bhima.

Kebijakan Pemerintah Dinilai Kontradiktif

Meski Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di KTT G20 Brasil pada November 2024 menyatakan komitmen terhadap transisi energi hijau dan pembangunan berkelanjutan, laporan ini menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah justru tidak sejalan. Pidato tersebut dinilai sebagai retorika politik semata karena dalam praktiknya, pemerintah tetap mengedepankan pengembangan gas fosil sebagai energi transisi melalui skema Accelerated Renewable Energy Development (ARED) yang akan dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) mendatang.

Laporan ini juga menyoroti adanya prioritas pendanaan dari Danantara untuk proyek migas dibandingkan pengembangan energi terbarukan.

Rekomendasi Kebijakan

Sebagai penutup, Greenpeace dan Celios mengusulkan sejumlah rekomendasi kebijakan penting, antara lain:

-Pemerintah harus membatalkan rencana penambahan pembangkit gas fosil dalam RUPTL 2025–2034.

-Menyusun peta jalan pemensiunan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil.

-Mempercepat transformasi ekonomi melalui fokus pengembangan energi bersih berbasis komunitas.

Laporan ini menjadi sinyal keras bagi pemerintah untuk meninjau kembali arah kebijakan energi nasional dan lebih serius dalam mewujudkan transisi energi yang adil, bersih, dan berkelanjutan.

Terkini

Ramalan Shio 8 September 2025: Persiapkan Hari Senin

Senin, 08 September 2025 | 11:24:23 WIB

Manfaat Ilmiah Buah Alpukat untuk Kesehatan dan Kulit

Senin, 08 September 2025 | 11:24:21 WIB

BYD M9 Hadir, MPV Premium Ramah Lingkungan Indonesia

Senin, 08 September 2025 | 11:24:17 WIB

Update Harga dan Spesifikasi HP Vivo Terbaru 2025

Senin, 08 September 2025 | 11:10:51 WIB

Harga Terbaru HP Realme: Seri C, GT, dan P

Senin, 08 September 2025 | 11:10:50 WIB