JAKARTA - Asia Tenggara bersiap menghadapi lonjakan aktivitas eksplorasi gas hulu pada 2025, dengan lebih dari selusin proyek ekstraksi gas yang berpotensi mencapai Final Investment Decision (FID). Namun, tren ini memicu kekhawatiran serius terhadap dampaknya bagi lingkungan hidup dan masa depan transisi energi bersih di kawasan.
Berdasarkan laporan gabungan Global Oil and Gas Extraction Tracker dan Asia Gas Tracker, tercatat satu proyek telah disetujui dan 13 proyek lainnya berpotensi meraih FID tahun ini. Jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Dari total proyek tersebut, lima berada di Indonesia, dua di Malaysia, empat di Vietnam, satu di Brunei, dan satu di Myanmar. Bila seluruh proyek ini disetujui dan berjalan, kawasan Asia Tenggara diproyeksikan akan menghasilkan lebih dari 20 miliar meter kubik gas per tahun, naik sekitar 18 persen dibandingkan produksi saat ini.
Keputusan investasi akhir (FID) merupakan tahap penting dalam pengembangan ladang gas. Di sinilah keputusan formal diambil untuk memulai proyek setelah semua izin dan pendanaan diperoleh. Namun demikian, banyak proyek ini memiliki rekam jejak penundaan serta tingkat ketidakpastian yang tinggi terkait pelaksanaannya.
Yang menjadi sorotan tajam adalah lokasi proyek-proyek tersebut yang berada di wilayah-wilayah sensitif secara ekologis, seperti Segitiga Terumbu Karang yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia serta Delta Mekong yang menjadi sumber kehidupan jutaan penduduk.
Menurut Warda Ajaz, Manajer Proyek untuk Asia Gas Tracker, ekspansi gas di kawasan ini bukan hanya mengancam ekosistem unik, tetapi juga membahayakan mata pencaharian komunitas lokal yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.
“Produksi gas baru dan yang diperluas di Asia Tenggara mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut dan mata pencaharian jutaan orang yang bergantung padanya,” tegas Warda.
Ia menambahkan bahwa peningkatan investasi di sektor gas hanya akan memperkuat ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan menjadi penghalang bagi pengembangan energi terbarukan yang lebih berkelanjutan.
“Daripada mengejar usaha bahan bakar fosil berisiko tinggi, pemerintah Asia Tenggara memiliki peluang penting untuk mengalihkan investasi ke sistem energi bersih dan berskala besar yang mendukung ketahanan ekonomi dan sejalan dengan komitmen iklim global,” ujar Warda.
Kondisi ini memperkuat urgensi evaluasi ulang terhadap proyek-proyek gas yang tertunda, terutama di tengah dorongan global untuk mempercepat transisi energi dan mencapai target emisi nol bersih (net zero emission).
Para pemerhati lingkungan mendesak agar pemerintah di kawasan ini tidak terjebak dalam siklus ketergantungan baru terhadap energi fosil. Sebaliknya, momentum ini harus dijadikan peluang untuk memperkuat infrastruktur energi terbarukan dan meningkatkan ketahanan ekonomi jangka panjang yang ramah lingkungan.