JAKARTA - Bursa saham Asia diperkirakan dibuka menguat pada perdagangan Rabu, 30 April 2025, mengikuti jejak reli Wall Street yang berhasil mencatatkan kenaikan beruntun selama enam hari. Optimisme pasar meningkat meskipun kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi global dan dampak tarif dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat masih membayangi.
Kontrak berjangka saham di Tokyo dan Sydney mengindikasikan tren positif, sementara Hong Kong cenderung bergerak datar. Indeks S&P 500 di Amerika Serikat membukukan penguatan enam hari berturut-turut, yang merupakan performa terbaik sejak Maret 2022. Indeks Nasdaq 100 bahkan hampir menghapus seluruh kerugiannya sejak awal April, meski sempat terkoreksi akibat saham Super Micro Computer Inc yang melemah dalam perdagangan setelah jam bursa.
Kinerja positif di pasar ekuitas terjadi meski sentimen global masih diliputi ketidakpastian. Investor tampak mengabaikan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi dan lebih fokus pada potensi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve sebagai bentuk respons terhadap meningkatnya risiko resesi.
“Banyak pihak masih memprediksi resesi dan level saham yang lebih rendah, tetapi kami percaya bahwa ‘Trump put’ nyata bagi pasar saham, sementara ‘Fed put’ berlaku untuk perekonomian,” ujar Andrew Brenner dari NatAlliance Securities.
Penguatan saham didukung oleh turunnya imbal hasil obligasi pemerintah AS. Yield Treasury 10 tahun kini berada di bawah 4,2%, mencerminkan meningkatnya permintaan investor terhadap aset aman. Sementara itu, dolar AS menguat terhadap sejumlah mata uang utama, di tengah pelemahan harga emas dan minyak.
Kondisi pasar tetap rapuh, terutama karena kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump masih menimbulkan ketidakpastian. Trump baru-baru ini menandatangani perintah eksekutif untuk melonggarkan tarif otomotif, menghindari tumpang tindih bea masuk terhadap kendaraan dan suku cadang buatan luar negeri yang dirakit di AS.
“Ke depan, kami percaya skenario terburuk dari perubahan kebijakan kemungkinan sudah tercermin dalam pasar,” kata Lauren Goodwin, ekonom dari New York Life Investments. “Namun karena ketidakpastian masih tinggi di sektor-sektor penting seperti biaya dan pendapatan bisnis, serta valuasi yang sudah pulih dari titik terendah, volatilitas pasar kemungkinan akan tetap tinggi.”
Dari sisi korporasi, sejumlah emiten besar di AS merilis laporan keuangan. Amazon.com Inc menyatakan tidak akan menaikkan harga produknya akibat tarif baru. Apple Inc dilaporkan mempertimbangkan relokasi sebagian produksi iPhone ke AS. General Motors dan JetBlue menarik proyeksi keuangan mereka, sedangkan United Parcel Service Inc mengumumkan rencana pemangkasan 20.000 karyawan.
Sementara itu, laporan pendapatan perusahaan menunjukkan hasil yang bervariasi. Visa Inc membukukan laba di atas ekspektasi, namun Snap Inc gagal memberikan proyeksi penjualan karena tekanan makroekonomi. Super Micro Computer Inc juga mengecewakan pasar dengan hasil awal yang di bawah prediksi analis.
Dalam laporan analis HSBC Holdings Plc, target indeks S&P 500 dipangkas menjadi 5.600 dari sebelumnya 6.700 karena ekspektasi pertumbuhan ekonomi AS yang melambat dan tekanan terhadap laba perusahaan akibat tarif.
“Kami memperkirakan narasi pasar akan terus bergeser antara resesi dan stagflasi hingga gejolak tarif mereda, The Fed mulai melonggarkan kebijakan, dan/atau tekanan inflasi gagal membangun momentum,” tulis analis HSBC Nicole Inui.
Meskipun demikian, sebagian pelaku pasar masih optimistis. Larry Adam dari Raymond James tetap mempertahankan target S&P 500 di level 5.800 hingga akhir tahun.
“Untuk sementara, saya akan lebih berhati-hati karena saya yakin akan ada bukti nyata yang menunjukkan perlambatan ekonomi ini,” ujar Adam dalam wawancara di kantor pusat Bloomberg di New York.
Dengan latar kondisi global yang tidak menentu namun disertai optimisme kebijakan moneter longgar, pelaku pasar Asia akan mencermati pergerakan selanjutnya dari pasar AS dan respons kebijakan dari bank sentral masing-masing negara.