JAKARTA - Harga minyak global mengalami penurunan signifikan, menyentuh titik terendah dalam 12 minggu terakhir. Pada Senin, 3 Maret 2025, harga minyak merosot sekitar 2% di tengah laporan bahwa OPEC+ akan melanjutkan rencana peningkatan produksi mulai April mendatang.
Penurunan harga minyak dipicu oleh berbagai faktor eksternal termasuk kebijakan tarif AS yang diperkirakan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global hingga mempengaruhi permintaan minyak. Hal ini menjadi perhatian utama bagi pelaku pasar di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi.
Menurut data yang dikutip dari Reuters, harga minyak Brent turun sebesar US$ 1,19 (setara dengan 1,6%) dan ditutup pada harga US$ 71,62 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) di AS mengalami penurunan lebih tajam, yaitu US$ 1,39 (sekitar 2%), ditutup pada US$ 68,37 per barel. Ini menjadi penutupan harga terendah untuk Brent sejak 6 Desember dan 9 Desember untuk WTI.
Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho, menjelaskan bahwa sentimen pasar minyak saat ini rentan terhadap berbagai faktor negatif. "Minyak mentah saat ini berada di bawah tekanan dari berbagai faktor dan rentan terhadap sentimen negatif terbaru atau data ekonomi," katanya. Yawger juga menambahkan bahwa keputusan OPEC+, data manufaktur AS, perkembangan konflik Ukraina, serta kebijakan tarif AS menjadi faktor utama yang mempermainkan pasar minyak saat ini.
Tiga sumber dari grup OPEC+ menyampaikan kepada Reuters bahwa organisasi ini tidak akan mengubah rencana dan tetap melanjutkan peningkatan produksi pada April. OPEC+ telah memangkas produksi secara bertahap sejak 2022, dengan pengurangan mencapai 5,85 juta barel per hari (bph) atau sekitar 5,7% dari total pasokan minyak global. Peningkatan produksi ini diharapkan dapat menstabilkan harga di pasar minyak global.
Di sisi geopolitik, Negosiasi damai antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut. Inggris melaporkan bahwa beberapa proposal untuk gencatan senjata telah diterima, sementara Prancis mengusulkan jeda satu bulan sebagai langkah awal menuju perundingan damai. Namun, Presiden AS Donald Trump mengisyaratkan kekesalannya dengan menyatakan bahwa kesabarannya terhadap konflik ini semakin menipis.
Di tengah situasi ini, AS sedang mempertimbangkan opsi untuk memberikan keringanan sanksi terhadap Rusia sebagai upaya memperbaiki hubungan bilateral dan menghentikan perang di Ukraina. Rusia, yang merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Arab Saudi, tetap menjadi pemain kunci dalam aliansi OPEC+.
Sementara itu, kebijakan tarif AS terus menimbulkan pro dan kontra. Presiden Trump dijadwalkan mengumumkan tarif baru terhadap impor dari Kanada dan Meksiko pada Selasa (4/3/2025). Rencana tersebut mencakup tarif 25% untuk semua impor, termasuk tarif 10% pada produk energi asal Kanada.
Industri minyak dan jasa pengeboran di Kanada mulai merasakan dampak dari ancaman tarif ini dengan adanya perlambatan aktivitas. Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum menyatakan bahwa negaranya siap menghadapi keputusan yang akan diambil oleh Washington. Sebagai tanggapan, China yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia merancang langkah balasan terhadap tarif yang dikenakan AS pada sektor pertaniannya.
Data manufaktur AS menunjukkan stabilitas selama Februari, tetapi kenaikan indeks harga di tingkat pabrik mencapai level tertinggi dalam hampir tiga tahun terakhir. Lamanya waktu pengiriman bahan baku menjadi indikasi bahwa tarif impor dapat menghambat produksi. Para analis mengingatkan bahwa kebijakan tarif dari Trump mungkin akan meningkatkan inflasi, memaksa Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menekan permintaan energi.
Kekhawatiran mengenai pelambatan ekonomi akibat tarif AS telah menekan harga WTI yang turun sekitar 10% dalam enam minggu terakhir. Hal ini mendorong spekulan untuk mengurangi posisi beli bersih (net long) pada kontrak berjangka dan opsi minyak mentah AS di New York Mercantile Exchange dan Intercontinental Exchange ke level terendah sejak Desember 2023.
Pasar energi AS lainnya juga terpengaruh. Kontrak April yang menjadi acuan baru menyebabkan harga diesel turun ke titik terendah dalam sembilan minggu menjelang akhir musim dingin. Di sisi lain, harga bensin melonjak ke level tertinggi dalam enam bulan terakhir menjelang musim berkendara musim panas, menunjukkan dinamika yang rumit dalam pasar minyak global saat ini.